Rp201,82 triliun. Angka tersebut keluar dari hasil penelitian sejumlah lembaga swadaya masyarakat terkaIt dengan potensi kerugian negara akibat korupsi yang dilakukan mafia di sektor sumber daya alam dan kehutanan.

Rilis bersama beberapa LSM yang diterima di Jakarta, Jumat, menyebutkan, baik pemerintah maupun penegak hukum belum serius melakukan perlawanan dengan terhadap mafia sumber daya alam.

Sejumlah LSM itu antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Haka (Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh), Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, Ammalta (Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang) Sulawesi Utara, dan MCW (Malang Corruption Watch).

Mereka mengungkapkan, hasil investigasi kasus korupsi di enam daerah (Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Jawa Timur) ditemukan beberapa kasus yang terindikasi korupsi di sektor tata guna lahan dan hutan.

Untuk itu, pemerintah juga didesak mencabut izin korporasi terhadap beberapa perusahaan yang bermasalah, serta Presiden Joko Widodo dan jajarannya harus menyiapkan strategi untuk melawan mafia sumber daya alam demi kepentingan penyelamatan sumber daya alam.

Sedangkan penegak hukum diminta untuk harus fokus mengejar mafia sumber daya alam dan memastikan oknumnya untuk tidak memberikan proteksi kepada para pencuri sumber daya alam.

Sementara itu, Direktur Walhi Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung Ratno Budi mengatakan industri pertambangan dapat menimbulkan bencana ekologis dan kemanusiaan serius.

“Banjir sebagai akibat dari perubahan bentang alam dan menurunnya daya dukung lingkungan misalnya bukan saja merusak pemukiman dan pertanian masyarakat, tapi juga telah memakan korban jiwa,” kata Ratno Budi dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Selasa (25/11).

Retno mencontohkan di tahun 2013 tercatat empat orang tewas tenggelam akibat bencana banjir di sekitar kawasan tambang.

Selain itu, Greenpeace Indonesia mencatat 45 persen dari sekitar 3.000 kilometer panjang sungai di Kalimantan berpotensi mengalami kerusakan akibat limbah dari perusahaan pertambangan batu bara.

“Dari hasil investigasi, kami menemukan 45 persen sungai yang ada di Kalimantan berpotensi kerusakan akibat kegiatan pertambangan batu bara,” kata juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto di Jakarta, Rabu (3/12).

Ia menjelaskan dari 3,7 juta hektare wilayah Kalimantan seperempatnya telah menjadi tempat kegiatan pertambangan batu bara.

Arif mengharapkan pemerintah mencabut izin dan tidak memberikan izin baru kepada perusahaan pertambangan batu bara yang mempunyai rekam jejaknya buruk terhadap lingkungan.

Ia juga mengatakan banyak perusahaan batu bara yang meninggalkan begitu saja bekas kolam penampungan dan bekas lubang tambang batu bara tanpa melakukan perbaikan kembali yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.

Hal yang lebih mengerikan lagi, Arif menambahkan hasil investigasi yang Greenpeace lakukan merupakan “fenomena puncak gunung es” sehingga pihaknya mendorong pemerintah untuk menindaklanjuti penemuan yang dilakukan pihaknya.

Gunakan kerugian Padahal, dengan angka potensi kerugian sebesar Rp201,82 triliun (yang hanya diperoleh dari kajian enam provinsi), sebenarnya merupakan jumlah yang sangat besar yang dapat digunakan oleh pemerintah baik pusat maupun di daerah dalam rangka melaksanakan pelestarian sumber daya alam.

Apalagi bila pihak aparat yang mewakili negara dapat mendesak berbagai pihak perusahaan pertambangan untuk mengganti kerugian yang mereka timbulkan di berbagai daerah di Indonesia.

Contoh dari hal tersebut sebenarnya telah dilakukan melalui program Superfund yang dicanangkan oleh pemerintah Amerika Serikat sejak diberlakukannya UU Respons, Kompensasi, dan Liabilitas Lingkungan Komprehensif (CERCLA) pada tahun 1980 (Berdasarkan informasi dari ensiklopedia duna maya Wikipedia).

Dengan CERCLA, Pemerintah Federal AS (setingkat dengan Pemerintah Pusat RI) melalui program Superfund, memiliki wewenang untuk membersihkan sejumlah situs yang terkontaminasi dengan substansi kimia berbahaya sebagaimana dengan “polutan dan kontaminasi” lainnya.

UU tersebut juga membuat Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) dapat mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap substansi kimia itu dan memaksa pihak-pihak yang bertanggung jawab tersebut untuk membersihkan situs atau lokasi yang tercemar.

Atau, EPA juga dapat membersihkan sendiri melalui dana perwalian (yang disebut Superfund) dan “cost-recovery” dari pihak yang bertanggung jawab dengan merujuk permasalahan tersebut kepada Departemen Kehakiman AS.

Selanjutnya, EPA menerbitkan untuk pertama kali Sistem Pemeringkatan Bahaya (HRS) pada 1981, dan membuat Daftar Prioritas Nasional (NPL) pada 1982 untuk mencatat situs-situs yang membahayakan lingkungan dan warga.

Sedangkan pihak yang dinilai dapat diminta pertanggungjawaban antara lain pemilik atau pengelola situs pada saat ini, pemilik atau pengelola pada saat terjadinya pembuangan substansi berbahaya, polutan, atau kontaminan lainnya.

Selain itu, pihak lainnya adalah orang yang merancang pembuangan dan orang yang memilih atau mengangkut substansi berbahaya, polutan, atau kontaminan ke situs tersebut.

Love Canal CERCLA itu sendiri dibentuk Kongres AS (setingkat dengan DPR RI) berdasarkan peristiwa yang terjadi di kawasan Love Canal, New York, akhir 1970-an, di mana ditemukan banyak tong-tong limbah pabrik digali di bawah tanah pemukiman.

Love Canal merupakan kawasan di Niagara Falls, New York, yang dinamakan demikian karena adanya ide dari seorang pengembang bernama William T Love untuk membangun kanal yang menghubungkan Sungai Niagara ke Danau Ontario pada tahun 1890-an.

Namun, proyek itu ditinggalkan (tetapi namanya telah melekat sebagai Love Canal) dan pada 1920-an, kawasan tersebut menjadi tempat pembuangan akhir bagi Kota Niagara Falls.

Dua dekade kemudian, Hooker Electrochemical Company (kemudian berganti menjadi Hooker Chemical Company), yang didirikan Elon Hooker, mulai mencari lokasi untuk pembuatan limbah kimia berbahaya yang mereka produksi dalam jumlah besar.

Nahasnya, Hooker diberikan izin untuk membuang limbah tersebut di Love Canal dengan cara mengeringkan kanal kemudian membuang limbah-limbah berbahaya dan dikuburkan kembali dengan tanah. Di situs itu diketahui Hooker Companye membuang dan mengubur hingga 21.000 ton limbah berbahaya.

Tempat pembuangan itu beroperasi hingga 1953. Sejak saat itu, tanah itu dijual dengan harga murah kepada Dinas Pendidikan Kota Niagara Falls.

Sebenarnya dalam negosiasi awal, Hooker Company telah menolak tawaran pembelian dari Dinas Pendidikan, tetapi karena lembaga pemerintah lokal tersebut bersikeras, maka tanah yang di bawahnya banyak limbah berbahaya itu tetap dijual.

Dalam perjanjian yang ditandatangani pada Apeil 1953, Hooker menyatakan pihaknya mencantumkan klausa yang melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban legal bila ada tuntutan hukum pada masa mendatang.

Bahkan, Hooker Electrochemical menyatakan bahwa area tersebut seharusnya benar-benar ditutup untuk mencegah kemungkinan orang atau binatang berhubungan dengan material berbahaya yang telah dikubur.

Liputan media Baru sampai 1976, ketika dua reporter Niagara Falls Gazette, David Pollak dan David Russel mengetes beberapa kawasan di sekitar pompa dekat Love Canal dan menemukan kandungan zat kimia berbahaya yang terdapat di dalam air.

Dua tahun kemudian, reporter lainnya Michael Brown melakukan penyelidikan mendalam terkait dampak yang diderita penduduk akibat potensi kandungan zat berbahnay tersebut dan ditemukan bahwa banyak warga menemukan kelainan saat melahirkan serta banyak anomali lainnya seperit ukuran kaki, kepala, dan tangan yang besar.

Liputan tersebut ditanggapi dengan kajian dari Departemen Kesehatan Negara Bagian New York dan situs itu dinyatakan dalam kondisi berbahaya pada Agustus 1978.

Protes dari warga mulai bermunculan karena masyarakat sendiri tidak mengetahui bahwa mereka saat ini menjalani kehidupannya sehari-hari di atas 21.000 ton zat kimia berbahaya yang terkubur di bawah tanah.

Pada 7 Agustus 1978, ketika pemberitaan media mengenai Love Canal telah sedemikian tingginya, Presiden Jimmy Carter mengumumkan kondisi gawat darurat kesehatan federal, dan mengalokasikan dana federal untuk memperbaiki situs Love Canal.

EPA pada 1979 juga menyatakan bahwa para penduduk mengalami tingkat keguguran yang sangat tinggi, dan Love Canal juga ditemukan gangguan dan kanker bahkan hingga ditemukannya zat beracun dalam sejumah sampel air susu ibu.

Warga mulai satu-persatu meninggalkan tempat tinggalnya di Love Canal. Pemerintah juga akhirnya merelokasi lebih dari 800 Kepala Keluarga dan memberi mereka dana untuk tempat tinggal baru.

Serta, Kongres AS akhirnya memberlakukan CERCLA, yang didalamnya berisi tentang program Superfund. Pada 4 Juni 1980, Badan Revitalisasi Area Love Canal (LCARA) dibentuk dan kebanyakan dari daerah yang mengandung zat berbahaya dikubur kembali dengan lapisan plastik tebal, tanah liat, dan tanah gembur.

Selain itu, ditempatkan pula pagar listrik tinggi yang dipasang melindungi area yang berbahaya tersebut.

Majalah National Geographic edisi Desember 2014 juga menurunkan artikel berjudul “Wasteland” mengenai nasib program Superfund saat ini.

Berdasarkan data status NPL tahun 2013 dalam artikel tersebut, terdapat hingga sebanyak 1.700 situs yang mengandung limbah berbahaya, di mana hanya 370 yang telah dinyatakan “deleted” atau semua upaya pembersihan telah dilakukan dan situs itu dihapus dari dalam NPL.

Permasalahan lainnya yang dihadapi Superfund saat ini minimnya anggaran karena sumber pendanaan berasal dari pajak yang diterapkan kepada industri minyak dan kimia dinyatakan kedaluwarsa pada tahun 1995 dan tidak diperpanjang oleh Kongres AS.

Saat ini, sumber pendanaan untuk Superfund berasal dari sumber dana umum, yaitu ditanggung oleh seluruh warga pembayar pajak di AS sehingga dana yang dikucurkan tidak sebanyak saat masih didanai oleh pajak dari industri minyak dan kimia.

Sekitar sepuluh tahun setelah tragedi Love Canal terjadi, Komisioner Departemen Kesehatan Negara Bagian New York menyatakan Love Canal akan diingat sebagai “simbol nasional dari kegagalan dalam menunjukkan kepedulian terhadap generasi mendatang”.

Tentu saja, hal itu tidak kita inginkan terjadi di Indonesia, yang kondisi sumber daya alamnya telah lama dirusak dan membawa banyak potensi kerugian bagi negara. AN-MB 

activate javascript