Parikesit

Oleh: Ngurah Karyadi


Babak belur. Mungkin itulah kata yang pas untuk mendefinisikan dua babak kuasa Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), sampai akhir jabatanya. Belum selesai satu kasus, muncul kasus lain yang kian mengguncang. Seperti Hastina di masa Duryodono, yang penuh intrik dan tipu-menipu -meski tidak berakhir dengan perang saudara (Bratayuda). 

Sibuk pencitraan: Katakan tidak pada Korupsi! Namun, terjadi sebaliknya, belum tuntas satu kasus, lahir kasus baru, yang lebih menggegerkan dan memalukan. Semuanya berujung pada libido politik yang riuh dan hiruk pikuk dengan korupsi. Sungguh sayang, energi dan konsentrasi terserap habis oleh politik “Maling Kondang.” Dalam bahasa News Weeks Asia: 10 Years Do Nothing.  

Mudah-mudahan dengan terpilihnya Joko “Jokowi” Widodo, yang didampingi Jusuf Kalla (JK) menjadi jalan keluar untuk memutus rantai problem tak berkesudahan ini. Tidak lagi “Salah Asuhan,” ataupun “Salah Asupan” seperti di masa-masa sebelumnya. Belajar dari Parikesit, saat menjadi raja Hastina, dimana Jokowi dan jajaranya mampu membuat negeri adil, makmur dan sejahtera.

Tertib dan aman
Cerita terjadi setelah era Bratayuda, dan goro-goro Aswatama Nglandak, negeri Hastina dipimpin oleh Prabu Parikesit, anak Abimayu dan Dewi Utari -cucu keluarga Pandawa. Tidak mudah untuk membuat tertib dan aman negeri sebesar itu. Di samping rentang wilayah yang luas, kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang belum stabil akibat krisis pasca perang. Ditambah berbagai intrik politik membuat situasi makin runyam. Suatu keadaan yang kurang lebih sama dengan Indonesia paska reformasi 1998.

Susah dibedakan mana kawan dan mana lawan. Manuver politik tidak hanya oleh mereka yang jelas-jelas oposan, tetapi bisa juga oleh mereka yang berikrar menjadi bagian pemerintahan. Untuk mengendalikan masa transisi itu, Jokowi-JK perlu mengedepankan prinsip “ambeg paramarta,”  seperti Parikesit, yakni mampu tentukan prioritas dan menetapkan tindakan yang dibutuhkan.

Dalam arti, bertindak lugas dan tegas terhadap perlawanan yang bertendensi makar, yang digerakan Prabowo dan Koalisi Merah Putih (KMP). Tidak ada basa-basi dan kompromi, tidak perlu wacana dan perang kata-kata. Namun bentuk Peradilan HAM Ad.hoc, guna mengadili Jendral pelanggah HAM. Di era Parikesit, musuh yang masuk kategori ini adalah Prabu Nila Kawaca dari Hima-Himantaka, anak Niwata Kawaca yang tewas di tangan Arjuna. Nila hendak membalas dendam sekaligus menaklukkan Hastina. 

Parikesit memerintahkan pengerahan kekuatan militer penuh. Pasukan dipimpin langsung Mahapatih Dwara, dengan dukungan pasukan udara Sasi Kirana -anak Gatotkaca dan pasukan darat yang dipimpin Danurwenda dan Sanga-Sanga. Identifikasi masalah yang cepat, instruksi yang jelas dan tegas, menyebabkan Dwara bisa bertindak tepat. Suatu hal yang sulit dilakukan Jokowi, mengingat tidak punya kekuatan miiter. 

Tidak seperti seperti Parikesit, Jokowi sulit merancang sebuah serangan kilat,  sehingga tentara yang tidak loyal bisa ditumpas sebelum mengacaukan situasi. Terlebih dengan adanya pergerakan ISIS, yang sedang naik daun, di wilayah eks basis pergerakan PRRI/Permesta. Disamping itu, di negeri ini menahan ‘mobil jendral’ (Unimog) saja susah, apalagi jendralnya. Terlebih para jendral yang diduga terlibat DOM, penculikan aktifis, ataupun pembunuhan Munir, masih kuat pengaruhnya di militer. 

Prioritas Jokowi berikutnya adalah mengatasi perlawanan para elite politik, yaitu para resi atau kaum brahmana, yang tergabung dalam KMP. Meskipun secara matematis dukungan politik punakawan untuk Jokowi-JK lebih dominan, dan ada UU Desa, yang langsung menyentuh rakyat. Tetapi mereka tidak bisa dianggap enteng, sebab kelas menengah yang vokal dan menguasai lalu lintas opini publik.

Rebut opini
Merah hitam citra Presiden di hadapan rakyat, ditentukan para penguasa atau hegemoni atas opini publik. Dalam ceritera, Parikesit telah mengidentifikasi empat resi yang merongrong kekuasaannya. Yakni Sugondo, Praswapati, Suyokesti, dan Sidi Wacana. Harus diakui, Jokowi-JK sulit merangkul lawan politik, yang marah karena kalah dari  punakawan (petruk) dalam percaturan Pilpres. Disamping itu mereka punya kekuatan mayoritas di parlemen, dan di daerah, seperti mengedepan dalam wacana Pansus Pemilu, Revisi UU Pilkada dan entah apa lagi.  

Manuver yang mereka lancarkan merupakan upaya mempertahankan pengaruh di pentas politik. Jika terhadap para jendral yang dikedepankan adalah pendekatan tegas keamanan dan ketertiban, tidak demikian halnya terhadap para resi, brahmana dan politisi. Langkah yang keliru bisa menyulut reaksi publik dan kehebohan baru, serta meluasnya basis oposisi.

Padahal para resi, brahmana dan politisi itu bisa menjadi sekutu potensial untuk menopang stabilitas pemerintahan. Membiarkan mereka berada dalam wilayah abu-abu akan mendatangkan mudharat lebih besar. Sikap negarawan harus menjadi pegangan Jokowi, dengan strategi “sowan” sebagai perlambang iktikad baik untuk menjalin komunikasi dan memperkuat ikatan kebangsaan dan kemanusiaan.

Namun, sowan belum tentu efektif mencairkan ketegangan dan memecah kebuntuan. Seorang raja bisa murka apabila ada sekutu, kerabat, atau bawahan absen menghadiri pisowanan, karena itu bisa berarti pembangkangan. Namun Jokowi-JK tidak mesti demikian. Politik sowan inilah yang harus dikembangkan Jokowi untuk melunakkan sikap para resi dan politisi.

Sebagai Presiden, Jokowi berhak untuk mendapat Pisowanan, dimana semua hadir.  Namun, untuk kepentingan yang lebih strategis, dia bisa mengabaikan tradisi itu. Dialah yang justru berinisiatif sowan kepada para resi dan politisi. Bukan sekadar basa-basi demi pencitraan diri seperti SBY, namun Jokowi datang dengan rendah hati, kemauan untuk mendengar dan memahami, dan niat tulus mencari titik temu atas berbagai masalah rakyat.

Langkah ala Parikesit ini terbukti tepat di masa itu. Resi Sugondo berhasil diyakinkan Parikesit untuk kembali memperkuat barisan koalisi. Bahkan ia bersedia diajak menumpas pemberontakan wilayah perbatasan yang dipimpin Kala Sugisrana. Begitu juga saat Parikesit sowan ke tiga resi lainnya. 

Untuk itu, melalui sowan, Jokowi harus membuat mereka sepakat untuk mengefektifkan koalisi lintas partai, yang sebenarnya sudah terjalin di masa SBY. Tetapi tak terurus karena tersandera oleh kepentingan sempit masing-masing, dari kasus Century, Wisma Atlet, Hambalang, sampai SKK Migas. Memang ada konsesi politik yang harus dibayar, yaitu memberi mereka tempat di lingkaran kekuasaan. Sudah tentu tanpa bagi-bagi “komisi”, yang melanggar hukum dan konstitusi.

Dalam cerita wayang, sebagai perlambang konsesi ini, Parikesit bersedia menikahi putri para resi. Wahyu dan “wong ayu” memang lazim menjadi legitimasi kekuasaan. Itu dulu, bukan di masa kini. Soliditas koalisi lintas resi, brahmana dan politisi inilah yang menopang kejayaan bangsa. Presiden Jokowi pun bisa memerintah dengan efektif, tanpa gangguan politik yang mengguncang.

Dengan pendekatan tersebut, niscaya Jokowi-JK dapat meminimalisir delegitimasi kekuasaan seperti tuduhan bohong, lamban, tidak tegas, dan sebagainya. Kunci dari semuanya adalah sikap negarawan para pemimpin. Jokowi mesti datang sebagai negarawan, yang dapat mengabaikan segala tata krama demi kepentingan bangsa dan negara.

Para resi dalam kaitan ini adalah para elite politik menunjukkan karakter negarawan. Dimana, mengeliminasi kepentingan sesaat dan dendam masa lalu, demi kepentingan yang lebih besar. Sebuah tatanan politik akan berjalan pada rel yang benar dan mendatangkan maslahat, apabila seluruh aktor memiliki jati diri negarawan.

Presiden, para pemimpin politik, dan para wakil rakyat haruslah sosok berwatak negarawan. Sosok yang mau berendah hati untuk menekan ego sepihak dan kepentingan sempit. Tidak bisa hanya presiden yang dituntut bersikap negarawan, sementara elite politik lainnya tidak. Tidak boleh hanya presiden yang diwajibkan berperilaku negarawan, sementara anggota parlemen seenaknya memamerkan praktek “Maling Kondang,” yang salah asuhan dan asupan. (***)