Oleh: I Gde Sudibya

UU Cipta Kerja telah disyahkan oleh DPR dalam sidang paripurna tanggal 5 Oktober 2020. Sebagaimana diberitakan, terjadi penolakan luar biasa  dari sejumlah komponen masyarakat yang sebagian besar adalah buruh/pekerja  mahasiswa, gerakan masyarakat sipil dan kalangan intelektual.

Pada sisinya yang lain, pemerintah dalam hal ini Presiden tidak akan menerbitkan Perpu penundaan/pembatalan, dan mempersilahkan komponen masyarakat yang berkeberatan mengajulan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Kompas dalam laporannya Minggu ( 5/10 ) bertajuk:  Segera Buka Draft RUU Cipta Kerja, melaporkan : dalam proses persidangan untuk pengesahan UU yang dimaksud. Ada fraksi yang merupakan anggota Panja UU yang dimaksud tidak memperoleh draft final nya, sehingga menjadi tidak mengetahui draft final mana yang  disetujui oleh DPR.

Sejarah telah mencatat, fraksi partai Demokrat tidak menyetujui undang-undang ini dan walk out dari ruang sidang. Fraksi partai PKS melakukan hal yang sama, tetapi tidak walk out. Kompas juga memberitakan, satu minggu setelah disyahkan, DPR belum juga mengumumkan UU ini dalam laman DPR.

Pengesahan UU dimana ada anggota DPR peserta sidang  tidak memegang draft final materi yang disidangkan, dan belum bersetuju   dengan keputusan yang akan diambil, dan kemudian pimpinan sidang karena alasan mayoritas sudah bersetuju dan kemudian mengesahkan UU ini, tanpa penyelesaian  musyawarah dan pengambilan voting, membersitkan sebuah pertanyaan: tidakkah proses persidangan ini dan keputusannya, melanggar tata tertib DPR yang dibuat oleh DPR sendiri?. bersambung

Beberapa catatan kritis

Catatan kritis ini didasarkan kepada pemberitaan dari Kompas dan Jawa Post, tidak mendasarkan diri pada keseluruhan materi final UU yang dimaksud yang konon tebalnya lebih dari 1000 halaman, yang sampai hari ini belum bisa diakses publik.

1. Semestinya UU ini, berdasarkan tujuannya dan aturan kegiatan yang mau diatur, lebih pantas diberi nama:UU Investasi,   Pertumbuhan Ekonomi dan Kesempatan Kerja.

2.Perizinan yang berhubungan dengan pendidikan, disetarakan dengan persyaratan perizinan usaha, menimbulkan persepsi serius bahwa negara bisa dipersepsikan menganggap usaha mencerdaskan bangsa sebagai kegiatan komersiil. Padahal UU tentang pendidikan dan UU lain tentang pengembangan pengembangan kecerdasan bangsa, tidaklah demikian.

3.Publik memperoleh kesan kuat, UU ini terlalu memihak pengusaha, dengan alasan pokok untuk melakukan koreksi terhadap hubungan industrial sebagai instrument untuk menarik investasi luar negeri ( konon diharapkan terbanyak dari Tiongkok ). Yang dipersepsikan merugikan buruh, dan memberikan ” karpet merah ” untuk pengusaha.

4.Dalam pasal 64 UU ini, sumber pangan nasional berasal dari sumber produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional dan impor. Berbeda dengan UU Pertanian yang tidak memasukkan sumber pangan dari impor. Ketentuan ini bisa menimbulkan impresi akan terjadi liberalisasi perdagangan komoditas pangan, yang akan merugikan petani, dan menguntungkan para pemain pangan dunia dan mitranya di dalam negeri.Ekonomi rente perizinan impor pangan  yang umumnya menguntungkan segelintir  elite ekonomi dan politik, akan semakin marak.

5.Pembentukan bank tanah ( pasal 126 UU ini ), yang akan menguasai tanah negara sekurang-kurang 30 %, dengan alasan untuk memudahkan penarikan investasi dari luar negeri, kalau tidak diwaspadai bisa dijadikan ” bancakan ” bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mengatas namakan kepentingan umum. Di era orang asing diperbolehkan baca dibebaskan untuk memiliki properti.

Dari catatan di atas, menjadi sangat penting bagi berbagai pihak yang pro dan kontra terhadap UU ini untuk membangun dialog, menciptakan ” jembatan ” bukan ” tembok “, mengedepankan musyawarah dan mufakat yang merupakan budaya adi luhung itu. Sekaligus menutup manuver  politik, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan yang dapat membuat risiko politik naik di tengah wabah pandemi.

Tentang Penulis

I Gde Sudibya, ekonom, berpengalaman lebih dari 25 tahun sebagai konsultan ekonomi dan manajemem pada puluhan UMKM di Bali.