Surabaya (Metrobali.com)-

Bangkalan Corruption Watch (BCW) melaporkan anggota Komisioner “Incumbent” Komisi Informasi Pusat (KIP), AS, ke Komisi I DPR RI, karena diduga melanggar kode etik akibat tidak independen dalam menangani sengketa informasi.

“DPR harus dapat memilih calon yang independen karena KIP merupakan lembaga semi peradilan yang menyelesaikan sengketa informasi melalui mediasi dan sidang ajudikasi,” kata Direktur BCW, Syukur, di Surabaya, Senin (24/6)

Pihaknya telah menyampaikan masukan ke DPR mengenai salah seorang incumbent yang mengikuti seleksi calon Anggota KIP Periode 2013  2017 berinisial AS yang diduga melakukan pelanggaran berat Kode Etik Komisi Informasi.

Laporan tersebut masuk ke Komisi I DPR RI setelah sebelumnya melalui media nasional diumumkan bahwa Komisi I menerima masukan dari masyarakat terkait 21 orang calon Anggota KIP yang akan mengikuti “fit and proper test” pada Selasa-Rabu (25-26/6).

Di antara para calon anggota KIP yang akan mengikuti uji kapatutan dan kelayakan di Komisi I tersebut terdapat dua orang Komisioner incumbent yakni HSW (Wakil Ketua) dan AS (Komisioner).

AS sebagai Ketua Majelis Komisioner telah melakukan tindakan yang diduga merupakan pelanggaran Kode Etik saat menangani perkara sengketa informasi antara BCW dengan PT Telkom. AS melakukan hubungan khusus dengan PT Telkom selaku termohon yang patut diduga mempengaruhi putusan.

“Kami merasa kecewa atas putusan itu, baik secara pribadi maupun lembaga seharusnya yang bersangkutan dapat menolak diundang karena saat itu sedang menangani perkara PT Telkom,” katanya.

Dalam sidang ajudikasi informasi yang disengketakan adalah permintaan BCW, yang juga merupakan mitra atau jaringan ICW di daerah, kepada PT Telkom atas informasi besaran tagihan telepon SKPD (Kantor-kantor Dinas) di Kabupaten Bangkalan Jawa Timur.

Putusan sidang ajudikasi yang dipimpin AS dalam amar putusan dinyatakan “Informasi total tagihan telpon SKPD di Kabupaten Bangkalan merupakan informasi terbuka, namun termohon tidak wajib memberikan kepada pemohon”.

“Putusan ini janggal dan merugikan kami. Informasinya terbuka, tapi tidak wajib memberikan. Darimana kami dapat melihat informasinya,” ujarnya. Terhadap putusan itu, BCW menggugat putusan tersebut ke PTUN Surabaya.

BCW juga melampirkan sejumlah bukti atas dugaan tersebut dan semakin dikuatkan dengan adanya pendapat beda (dissenting opinion) dari salah seorang Majelis Komisioner dalam kasus tersebut.

Dalam laporan tersebut juga dikutip kronologi persidangan. Sidang ajudikasi pertama berlangsung pada 13 Februari 2013 dengan agenda pemeriksaan awal (klarifikasi), kemudian pada 22 Maret 2013 AS dijamu dan diundang secara khusus serta difasilitasi oleh PT Telkom untuk menjadi narasumber dalam kegiatan PT Telkom di Batam.

“Mestinya, sebagai Ketua Majelis Komisioner yang sedang menangani kasus PT Telkom, AS wajib menolak undangan tersebut,” katanya.

Namun, AS memenuhi undangan tersebut dan menerima fasilitas dari PT Telkom selaku termohon atau pihak yang diadukan dalam sengketa informasi tersebut. Akhirnya pada sidang putusan pada 26 Maret 2013 AS selaku ketua majelis membacakan putusan yang dinilai janggal tersebut.

Menurut pelapor, AS patut diduga telah melanggar Kode Etik Komisi Informasi khususnya mengenai Komisioner yang harus bebas dari intervensi dalam mengambil putusan (III angka 3 kode etik Komisi Informasi).

Selain itu juga tidak boleh berhubungan dengan para pihak yang patut diduga akan mempengaruhi putusan (IV angka 1 kode etik Komisi Informasi). Pelapor meminta dengan temuan ini agar menjadi pertimbangan untuk tidak meloloskan calon komisioner yang bermasalah. INT-MB