Khartoum (Metrobali.com) –

Wakil Presiden Sudan Ali Osman Taha, sosok kunci di balik kudeta yang didukung gerilyawan Islam 24 tahun lalu, telah mengundurkan diri untuk membuka jalan bagi pemerintahan baru, kata Presiden Omar al-Bashir Sabtu.

“Ali Osman secara sukarela akan mengundurkan diri”, seperti yang ia lakukan pada tahun 2005 setelah menandatangani perjanjian damai yang mengakhiri 22 tahun perang saudara, kata Bashir dikutip oleh kantor berita resmi SUNA.

Taha “merupakan ujung tombak dan pemimpin perubahan dalam pembentukan kabinet baru,” kata Bashir tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Presiden mengisyaratkan pada pertengahan November bahwa perombakan luas pemerintah sudah dekat.

Pekan lalu dia memberhentikan menteri-menteri kabinetnya menunggu penunjukan pemerinth baru pada tanggal yang belum diumumkan.

Kritik-kritik terhadap rezim Bashir telah menjadi semakin vokal sejak pemerintah memangkas subsidi BBM pada bulan September, yang mengarah kepada kerusuhan perkotaan terburuk di pemerintahannya.

Pasukan keamanan diyakini telah menewaskan lebih dari 200 demonstran, kta Amnesty International, tetapi pemerintah telah memberikan jumlah kurang dari separohnya.

Para pengulas mengatakan protes-protes spontan menunjuk kebutuhan mendesak perubahan oleh rezim yang didominasi Arab yang bergulat dengan pemberontakan etnis di Darfur, Kordofan Selatan dan negara bagian Blue Nile, perpecahan dalam jajaran sendiri, krisis ekonomi dan isolasi internasional.

Bashir sejak itu berbicara tentang “reformasi” , dan mengulangi seruan-seruan untuk dialog dengan semua partai politik, termasuk para pemberontak bersenjata.

Taha dianggap sebagai yang “pertama” dari dua wakil presiden di pemerintahan Bashir.

Taha memimpin partai Front Nasional Islam yang mendukung kudeta tahun 1989 yang melantik Bashir.

Dia kemudian menjadi wakil presiden pertama, tetapi mundur demi mantan pemimpin pemberontak John Garang pada Juli 2005, dengan persyaratan kesepakatan damai.

Setelah kematian Garang dalam kecelakaan helikopter sekitar satu bulan kemudian Taha melanjutkan sebagai wakil presiden kedua, tetapi kemudian kembali menduduki jabatan teratas di peringkat wakil itu.

Para pengulas tahun lalu mengatakan Taha kemungkinan sebagai pengganti Bashir jika dia mundur, sementara Hassan al-Turabi, yang awalnya mendukung Bashir dan kemudian memisahkan diri untuk membentuk partai oposisi, melihat persaingan antara presiden dan Taha. (Ant/AFP)