Denpasar (Metrobali.com)-

Masalah tawuran antarpelajar terulang kembali dan menjadi sorotan publik yang cukup memprihatinkan. Fenomema ini bagaikan bola salju, yang terus menggelinding membesar dan tanpa sadar menjadi embrio anarkitisme intelektual berbasis massa yang dapat mengancam kemajemukan berbangsa dan bernegara. Dunia pendidikan pun semakin karut-marut serta kehilangan ruh dan taksunya sebagai pencetak karakter bangsa yang unggul dan berkualitas, serta berbudaya sesuai amanat UUD ’45 dan Pancasila serta UU Sisdiknas.

Beragam upaya memang telah dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan klasik tersebut. Di antaranya membenahi kegiatan masa orientasi sekolah (MOS) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta masa orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) untuk perguruan tinggi sebagai edukasi tahap awal yang lebih berbudaya dan bermartabat. Artinya menghapus praktik perpeloncoan maupun perilaku atau tindakan balas dendam yang acapkali terjadi saat kegiatan MOS maupun Ospek selama ini. Hanya saja belum efektif. Lha kok bisa, kenapa ?

Ketua Dewan Pendidikan Kota Denpasar, Putu Rumawan Salain menegaskan bahwa maraknya aksi tawuran atau praktik anarkitisme intelektual merupakan gejala sosial yang patut diwaspadai sebagai efek domino dari beragam persoalan kehidupan di tengah desakan perilaku dan pola hidup masyarakat yang hedonis dan konsumtif akibat terpicu kepentingan kapitalisme global.

Diakuinya, kegagalan dalam mengatasi berbagai tindakan kekerasan ataupun tawuran antarpelajar maupun antarmahasiswa ataupun anarkitisme massa (premanisme) selama ini akibat dari lemahnya lembaga terkait di bidangnya dalam proses penindakan dan penegakan hukum secara berkeadilan tanpa pandang bulu serta lebih bermartabat dan berkeadaban. Selain itu, pemutakhiran kurikulum dalam jenjang pendidikan dasar maupun menengah termasuk perguruan tinggi dengan beragam muatan pembentukan karakter bangsa seperti antikorupsi, kearifan budaya lokal, budi pekerti, serta lainnya terkait etika, estetika, dan moralitas sosial dianggap gagal dan malahan dicap sebagai program politisasi budaya pencitraan publik semata.

Menurutnya, sepanjang pelaku kekerasan tidak tersentuh proses hukum dan terkesan malahan terjadi pembiaran sudah pasti tindakan anarkitisme intelektual akan terulang kembali. Nah, untuk itulah kita semua kini harus mampu membangun paradigma baru berpikir kritis, agar mampu membangun sugesti positif terhadap perilaku anarkitisme intelektual yang telah terjadi selama ini.

Yang terpenting, katanya, saat ini bukan untuk saling menyalahkan, tapi semua pihak harus bersiap diri untuk berbenah dan berani lagawa menerima sanksi hukum secara berkeadilan bilamana sekolah membiarkan anak didiknya tawuran. Terlebih lagi sampai terjadi secara berulang-ulang. “Jangan hanya saling tuding dan saling menyalahkan, tapi harus berani tampil terdepan untuk bersama-sama mengantisipasi maraknya aksi anarkitisme intelektual di masa datang,” sentilnya, Rabu (26/9).

Lebih jauh, Kepala Disdikpora Bali, AAN Gde Sujaya mengakui memang menyadari bahwa perilaku tawuran massa yang melibatkan kalangan pelajar dan mahasiswa masih seringkali terjadi. Meskipun, beragam upaya tentunya sudah sempat dilakukan untuk menekan perilaku melanggar hukum tersebut. Terlebih lagi, korban tawuran terus bertambah baik yang tewas maupun luka-luka.

Menurutnya, tindakan anarkitisme kaum intelektual atau terpelajar ini sebagai proses terjadinya degradasi kesadaran moralitas sosial dalam berdemokrasi dan rendahnya pengawasan serta upaya penindakan hukum dengan sanksi tegas bagi para pelaku tindakan kekerasan selama ini. Praktik kekerasan massa yang melibatkan kaum intelektual sejatinya tidak perlu terjadi jika para elite politik penguasa sebagai pemangku kebijakan terutama instansi terkait di bidangnya termasuk dunia pendidikan dapat menjalankan fungsi kontrolnya secara berimbang dan saling sinergi satu dengan lainnya, serta mampu bertindak tegas dan adil tanpa pandang bulu bagi pelaku kekerasan.

“Solusinya, mari kita tingkatkan efektivitas dan kinerja serta etos kerja sebagai abdi negara pengayom masyarakat secara bersama-sama dan berkelanjutan,” sarannya, demi kepentingan keutuhan persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. IJA-MB