I Gde Sudibya  di depan Taman Bung Karno, 1/6/2020, pagi hari, Desa Sukasada, Singaraja, Bali.

” Jika aku melihat wajah anak – anak di desa desa
Dengan mata yang bersinar-sinar (berteriak) Merdeka!
Merdeka! Pak! Merdeka!

Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia

-puisi Bung Karno bertema: ” Aku Melihat Indonesia ” ( sebagian ), Taman Bung Karno, Sukasada, Singaraja, Bali.

Tantangan Pandemi
Di perayaan 75 tahun lahirnya Pancasila, dan terus menuju 75 tahun usia Republik, kita bersama dihadapkan kepada tantangan yang begitu tiba-tiba, ” serangan virus yang berukuran mikron – Covid-19 yang berdampak luas terhadap kemanusiaan, tingkat sosial ekonomi dan ketidakpastian akan masa depan.
Diprediksikan pasca pandemi, terjadi perubahan fundamental terhadap sistem nilai, prilaku, pada totalitas kehidupan yang menyangkut bidang ekonomi, politik, sosial kultural. Sementara itu, format relasi antar bangsa di tingkat global, diperkirakan juga akan mengalami perubahan, globalisasi ekonomi dan global life styles pasca pandemi, diperkirakan berbeda dengan sebelumnya.
Diperkirakan ekonomi akan berubah, perkiraan yang masih spekulatif dengan  munculnya sosialisme model baru, karena banyak usaha akan diambil alih oleh negara atau kolusi dari kelompok usaha besar yang mampu bertahan dan memanfaatkan peluang dalam masa pandemi dan waktu awal pasca pandemi, yang bekerja sama dengan para oligar partai yang sedang berkuasa.
Intinya paradigma kehidupan pasca pandemi berubah, sebagaimana yang pernah ditulis oleh sejarahwan ternama: Yuval Noah Harari: ” Badai pasti berlalu, manusia mampu bertahan, hanya saja dunia pasca pandemi, akan sangat berbeda dengan dunia sebelumnya”. Jadi manusia yang mampu bertahan hidup, bukan manusia yang kuat. Akan tetapi manusia yang mampu beradaptasi dengan perubahan global ini.
Tantangan Kebangsaan
Pandemi telah melahirkan ketidakpastian baru yang berupa risiko kehidupan, risiko ekonomi dengan implikasi luas dan berkepanjangan, cepat atau lambat akan melahirkan implikasi politik dengan risiko politik, yang masih sulit diperkirakan yakni luasnya cakupan dan tingginya risiko.
Risiko baru akibat pandemi Covid-19 jika  “digabungkan” dengan risiko ekonomi politik sebelum pandemi, menyebut beberapa diantaranya antara lain maraknya politik identitas berbasis agama dan kesukuan yang membuat bangsa ini menjadi “fragile” – mudah pecah -, ketidakadilan ekonomi dan sosial yang akut, terbukti dari kesenjangan pendapatan dan penguasaan harta yang sangat timpang, white colour crime seperti munculnya korupsi yang tidak semakin surut, black colour crime berupa aksi terorime yang tidak bisa dianggap enteng oleh negara ini.
Pada bagian lain akan muncul demokrasi prosedural yang sarat dengan prilaku transaksional, risiko merosotnya kualitas demokrasi pasca pandemi, prilaku politik yang tuna kenegarawanan, nyaris terputus ( a historis ), dengan keutamaan politik – political vertue – yang diwariskan dan diteladankan oleh The Founding Fathers.
Di 75 tahun perayaan hari lahirnya Pancasila Kita, menuju usia 75 tahun Republik Kita, menjadi pantas untuk kita berefleksi, apabila negeri tidak mau menerima risiko yang dialami oleh bekas negara Yugoslavia, krisis politik berkepanjangan seperti yang dialami Suriah, Irak, Afganistan, dan masih banyak lagi negara yang berisiko ” fragile”- mudah pecah”.
Untuk itu, mari kita tumbuhkan kembali kesadaran akan kecintaan negeri dan nilai-nilai kebangsaan yang melekat di hati sanubari insan-insan manusia yang mendiami bumi Nusantara, sebagaimana telah diteladankan oleh Bung Karno, dalam kutipan puisi di atas.
Sudah semestinya kita berhenti, ” bermain-main politik” , politik menghalalkan semua cara untuk tujuan peraihan kekuasaan jangka pendek, untuk memenuhi libido kekuasaan yang dalam perjalanan sejarah tidak akan pernah terpuaskan.
Kembali ke kesepakatan bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD.1945, yang merupakan raison detre’ ( alasan keberadaan ) Repulik yang tercinta ini. Kembali mulai dengan tertatih-tatih mengamalkan Pancasila dalam ke seharian kehidupan.
Pengamalan yang sangat tidak mudah, dalam realitas kehidupan yang sudah dikuasai oleh demokrasi liberal dengan sistem ekonomi pasarnya, yang dalam pandangan sejarahwan Harari, sistem sosial ini sudah punya ” agama ” baru yaitu pertumbuhan ekonomi, dengan nilai yang melekat padanya: persaingan, efisiensi  pertumbuhan, produktivitas, yang sangat jauh dari nilai-nilai keadilan sosial.
Terserah kepada bangsa ini, untuk larut dengan sistem demokrasi liberal di atas dengan segala risikonya, atau kembali ke kesepakatan bangsa di awal berdirinya Republik. Ini pantas menjadi renungan kita bersama di 75 tahun hari lahirnya Pancasila.
Oleh: I Gde Sudibya
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat: ekonomi, sosial dan kecendrungan masa depan.