Pantai Kuta

BRANDING Pariwisata Bali beralih dari “Shanti, Shanti, Shanti” menjadi Bali, the Island of Gods” pada tahun 2017 lalu. Peralihan branding ini diharapkan bisa mengembalikan citra pariwisata Bali yang berpijak pada pariwisata budaya sesuai dengan Perda Pariwisata Budaya, tetapi perkembangan pariwisata Bali terus menjauhi pariwisata budaya. Kasus Ria tentang pencarian pariwisata seks di Bali adalah kasus yang baru-baru ini menjadi viral. Kasus-kasus lainnya di masa lalu, seperti seks terhadap anak-anak dan perkawinan hubungan sejenis menodai citra pariwisata budaya Bali. Berkaca dari kasus-kasus tersebut, timbul pertanyaan mendasar tentang apakah pergantian branding ini akan bisa mengubah citra pariwisata Bali?

Citra pariwisata budaya dengan “the Island of Gods” adalah citra lama sejak zaman kolonial, tetapi pariwisata Bali tetap populer karena gambar-gambar perempuan Bali yang sensual yang dipotret oleh foto grapher Jerman pada era kolonial. Pada tahun 1930-1940-an, isu hubungan sejenis menerpa pariwisata Bali yang diikuti dengan penangkapan yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap beberapa pelakunya. Pada awal-awal kemerdekaan, isu “hippies” atau wisman yang berperilaku seenaknya menerpa pariwisata Bali, sehingga pemerintah Soeharto mengkampanyekan untuk tidak menerima perilaku bebas wisman. Pada tahun 1990-sekarang, isu-isu tata ruang, lingkungan, dan pengabaian kawasan suci menjadi isu sentral yang membelakangi citra “the Island of Gods”.

Ketersesakan ruang, kekhawatiran terhadap pemborosan sumber daya alam, dan isu lingkungan menjadi isu sentral pariwisata Bali belakangan ini, tetapi di tengah isu tersebut kunjungan wisman terus meningkat menjadi 4 juta lebih wisman pada tahun 2016. Peningkatan kunjungan wisman ini digenjot untuk memenuhi target kunjungan 10 juta wisman pada tahun 2019. Peningkatan kunjungan wisman ini terasa tidak dinikmati masyarakat Bali, sehingga masyarakat kelihatan anti terhadap pembangunan pariwisata. Hal itu terlihat dari kasus reklamasi Teluk Benoa yang ditolak karena manfaatnya lebih kecil daripada dampaknya. Dengan peningkatan kunjungan wisman dan sikap masyarakat Bali yang anti terhadap pengembangan fasilitas pariwisata, apakah Bali benar-benar akan menjadi the Island of Gods?

Untuk menjadi the Island of Gods, Bali perlu membenahi beberapa hal. Satu hal yang teramat penting adalah bahwa Bali sampai saat ini, tidak pernah mengukur daya tampung pariwisata Bali. Berbicara daya tampung, tidak berarti bahwa hanya berbicara tentang daya tampung fisik, yaitu luas wilayah, tetapi juga harus berbicara daya tampung fsikologi, sosial budaya, dan ekonomi. Secara fisik, Bali bisa menampung 10 juta wisman, tetapi tidakkah itu mengganggu fsikologi masyarakat Bali, atau mengganggu sosial budaya dan ekonomi masyarakat Bali? Pertanyaan ini tidak pernah terjawab sampai saat ini.

Jika itu tidak terjawab, bagaimana Bali bisa berbicara tentang the Island of Gods? Secara kultural, masyarakat Bali memiliki keyakinan bahwa Tuhan akan muncul bila terjadi hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dan lingkungannya. Sebab Tuhan dalam budaya Bali digambarkan sebagai Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), dan Sundaram (keindahan). Ketiga hal itu saling berhubungan, karena itu jika tidak ada kebenaran maka tidak ada kesucian dan keindahan. Demikian juga sebaliknya, jika tidak ada keindahan maka tidak akan ada kesucian dan kebenaran. Jika kesucian telah dilabrak untuk pariwisata maka apakah ada keindahan dan kebenaran lagi? Jika tidak ada kebenaran, kesucian dan keindahan, apakah Tuhan layak menjadi citra Bali?

Oleh karena itu, pembicaraan tentang keharmonisan melalui pengukuran daya tampung Bali menjadi sangat penting. Daya tampung fisik dan fsikologi diukur untuk memenuhi unsur keindahan (sundaram). Daya tampung sosial budaya diukur untuk memenuhi unsur kesucian (siwam), sedangkan daya tampung ekonomi diukur untuk memenuhi unsur kebenaran (satyam), yang terwujud dalam keadilan ekonomi. Apabila daya tampung tersebut telah diukur dengan baik maka Bali sebagai the Island of Gods, akan dapat direncanakan dengan baik.

Pengukuran daya tampung ini sebenarnya sudah sangat terlambat, sebab pemerintah telah banyak melampau batas-batas perencanaan pariwisata Bali. Pada tahun 1971, SCETO merencanakan pembangunan pariwisata Bali dengan membangun Nusa Dua Resort untuk menampung 750 wisman. Target ini telah tercapai tahun 1993, tetapi pemerintah pada waktu itu meningkatkan target menjadi 1,5 juta wisman dengan memperluas kawasan pariwisata menjadi 21 kawasan pariwisata. Perluasan ini mendapatkan penolakan kalangan masyarakat Bali melalui penolakan proyek BNR di Kawasan Suci Tanah Lot.

Penolakan ini tidak digubris pemerintah, peningkatan kapasitas Bali untuk menuju 1,5 juta wisman terus dikejar sehingga tercapai pada tahun 2000. Pasca kunjungan 1,5 juta wisman ini, bom meledak di Bali sehingga menghentikan sementara laju pertumbuhan wisman, tetapi pasca ledakan bom laju ini terus digenjot untuk menuju 3 juta wisman yang tercapai tahun 2013. Setalah 3 juta wisman, Bali menuju 6 juta wisman selanjutnya 12 juta wisman pada tahun 2020. Tetapi masalahnya apakah pertumbuhan kunjungan wisman tersebut telah mensejahterakan masyarakat Bali?

Peningkatan kesejahteraan ini yang tidak dirasakan masyarakat Bali. Peningkatan kunjungan wisman tidak berbanding lurus dengan peningkatan gaji karyawan hotel misalnya. Bahkan keluhan terus muncul bahwa pariwisata Bali tidak seperti dulu lagi, dan tidak menjanjikan pendapatan yang semakin baik. Hilangnya harapan masyarakat ini yang membangun rasa anti terhadap perkembangan pariwisata Bali. Sampai saat ini, masyarakat Bali masih ramah dengan wisman, tetapi pada fase-fase berikutnya jika perkembangan ini tidak berdampak kepada masyarakat, bukan tidak mungkin keramahan itu akan berubah menjadi ketidakramahan.

Kasus-kasus kejahatan terhadap wisman sudah mulai terjadi di Bali. Kasus-kasus ini harus terus diwaspadai agar tidak merusak citra pariwisata Bali. Kasus kejahatan ini tentu saja berakar dari distribusi ekonomi pariwisata Bali yang tidak adil. Sebagian kecil orang menikmati terlalu besar dibandingkan sebagian besar orang. Hal ini menimbulkan kecemburuan yang bisa terwujud menjadi berbagai tindak kejahatan. Tindak-tindak kejahatan akibat ketidakadilan ekonomi berlangsung sejak zaman dahulu. Karena itu, masyarakat Bali membangun sistem ekonomi pertanian yang diwadahi subak untuk mendistribusikan sumber daya alam (air) secara adil kepada petani. Apakah pariwisata Bali bisa seperti subak yang mampu mendistribusikan keuntungannya secara adil kepada masyarakat Bali?

Sistem distribusi ekonomi yang adil ini masih menjadi masalah bagi Bali. Pembagian PHR antar satu kabupaten ke kabupaten lainnya, dan distribusi jalur-jalur pariwisata hingga kini masih menjadi masalah. Karena itu, masih banyak masalah dalam diri Bali sendiri untuk menjadi the Island of Gods, sehingga sangat mengkhawatirkan apabila branding tersebut tidak sesuai dengan kenyataannya. Di dunia ini, branding memang banyak yang tidak sesuai dengan kenyataannya, tetapi destinasi dengan branding seperti itu tidak akan bertahan lama. Karena itu, membangun branding harus diikuti dengan perencanaan pariwisata Bali yang holistik.

(Dr. I Gede Sutarya, SST.Par.,M.Ag adalah Dosen pada Jurusan Pariwisata Budaya IHDN Denpasar)