Denpasar (Metrobali.com)-
Bali yang kaya tradisi seni dan budaya hingga kini belum memiliki gedung pertunjukan kesenian representatif dengan sistem pencahayaan yang memadai.

“Perkembangan belakangan ini mengindikasikan bahwa masa depan panggung pementasan di Bali benar-benar suram,” kata Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Prof Dr I Nyoman Darma Putra di Denpasar, Sabtu (8/6).

Pengamat pariwisata dan seni budaya Bali itu mengatakan, di luar gedung Taman Budaya Denpasar hampir tidak ada panggung kesenian yang representatif.

Proyek Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Jimbaran, Kabupaten Badung, yang dirancang menjadi gedung atau panggung kesenian modern tidak kunjung rampung karena alasan finansial dan konflik berkelanjutan dari pengelolaannya.

Meskipun demikian, GWK sebagai bagian dari “staged culture” Bali sudah tampak dalam beberapa kegiatan besar, seperti pementasan orkestra dan musik kolosal yang melibatkan artis asal Jakarta.

Darma Putra yang alumnus S-3 University of Queensland Australia menambahkan, di Bali belakangan ini muncul Teater Bali Agung, di Bali Safari & Marine Park Kabupaten Gianyar.

Kegiatan tersebut tampaknya ingin meniru sukses “staged culture” ala China dengan suguhan pentas kesenian Bali kolaborasi tradisi dan kontemporer, dengan tata lampu, tata dekorasi, tata busana, tata suara yang yang memukau.

Selain ratusan penari, pementasan “Bali Agung” yang kolosal juga menampilkan satwa seperti gajah, macan, dan unta berintikan kisah legenda Jayapangus dan istrinya putri China Kang Cing Wie.

Jutaan wisatawan domestik dan internasional berkunjung ke Bali setiap tahun dan mereka adalah target pasar dari pentas seni.

“Sayang sekali kalau potensi itu akan lepas kandas karena absennya seni-seni pertunjukkan yang dipentaskan dalam gedung-gedung yang nyaman dan inovatif,” ujar Darma Putra.INT-MB