Prof Windia

Pengakuan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) telah mengukuhkan subak di Bali menjadi warisan budaya dunia (WBD).

Kondisi demikian menuntut adanya organisasi pengairan tradisional bidang pertanian untuk dapat dilestarikan dan dijaga kesinambungannya dengan membangun subak abadi (sawah lestari).

Sawah abadi itu tidak hanya dibangun pada 14 subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1.000 hektare menjadi satu kesatuan yang telah ditetapkan menjadi WBD.

Subak abadi itu juga perlu dibangun atau dikembangkan oleh delapan kabupaten dan satu kota lainnya di Bali sebagai upaya menyelamatkan subak, menyediakan udara yang bersih, segar dan menghindari alih fungsi lahan pertanian yang belakangan ini tidak terkendali, tutur Ketua Pusat Penelitian subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia.

Pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 atau 65 tahun yang silam yang pernah menjabat Sekretaris Tim Penyusunan Proposal Warisan Budaya Dunia (WBD) Subak di Bali yang telah diputuskan UNESCO mengharapkan Pemerintah Kota Denpasar memelopori membangun dan menetapkan kawasan subak abadi.

Terobosan itu sebagai upaya menjaga kesinambungan lahan pertanian dan lahan terbuka hijau di ibukota Pulau Dewata, karena Pemkot Denpasar hingga kini masih memiliki sejumlah kawasan subak yang lestari antara lain subak Anganbaya, desa Penatih, Kecamatan Denpasar Timur dan sejumlah subak lainnya.

Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra diharapkan segera menetapkan adanya kawasan subak abadi yang mampu memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat kota, termasuk sebagai objek wisata baru.

Sawah abadi selain memberikan dampak ekonomi dan udara yang segar, juga mempunyai kaitan yang erat dengan kota Denpasar yang kini menyandang predikat sebagai kota pusaka, sekaligus anggota tetap The Organizational of World Haritage City (OWHC) yang melibatkan 250 kota di dunia.

Di Indonesia hanya ada dua kota yang telah diakui sebagai anggota tetap OWHC, selain Denpasar, Bali juga kota Surakarta, Jawa Tengah.

“Kota pusaka itu tidak hanya menyangkut keris dan benda-benda pusaka lainnya, namun juga seni budaya masyarakat setempat, karena subak, sistem organisasi pengairan tradisional dalam bidang pertanian yang diwarisi secara turun temurun, merupakan bagian dari unsur kebudayaan Bali,” ujar Prof Windia, putra almarhum Made Sanggra, seorang vetran pejuang yang juga sastrawan Bali modern, pasangan Ni Made Yarti.

Untuk itu kebijakan Pemkot Denpasar untuk segera membangun kawasan subak abadi akan sangat mendukung kota pusaka, sekaligus merangsang dan mendorong pemerintah kabupaten di Bali lainnya untuk membangun hal yang sama.

Ancaman serius Prof Windia menjelaskan pengakuan UNESCO terhadap subak sebagai warisan budaya dunia dalam upaya menyelamatkan warisan budaya bidang pertanian, khususnya subak yang kini mulai terancam akibat peralihan fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali.

Peralihan fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Pulau Dewata merupakan ancaman yang sangat serius dalam menyediakan persediaan pangan, khususnya beras, dan hal itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

Dengan adanya sawah-sawah abadi di masing-masing kabupaten dan kota akan mampu menghilangkan adanya kekhawatiran akan punahnya subak dapat dihindari, sekaligus kelestarian swasembada pangan tetap dapat dipertahankan.

Namun berapa hektare idealnya sawah abadi di masing-masing kabupaten dan kota di Bali masih perlu penelitian dan pengkajian secara khusus, sedapat mungkin semakin luas kawasan subak abadi itu semakin bagus.

Demikian pula pemerintah perlu memberikan perhatian khusus dan berbagai kemudahan terhadap petani pemilik maupun penggarap sawah-sawah abadi tersebut, antara lain berupa subsi pupuk, bibit padi serta pajak bumi dan bangunan secara geratis.

Berdasarkan hasil penelitian terakhir, lahan pertanian yang beralih fungsi di Bali setiap tahun mencapai 800 hektare. Kalau dalam satu kawasan subak mempunyai hamparan lahan 400 hektare berarti setiap tahunnya dua subak sirna.

Dinas Pertanian Provinsi Bali mencatat, hamparan lahan sawah di Pulau Dewata masih tercatat seluas 84.118 hektare. Dengan adanya lahan pertanian yang abadi, aktivitas pertanian diharapkan berlangsung secara berkesinambungan.

Aset budaya Hamparan lahan sawah yang menghijau, dengan lokasi yang berundag-undang (terasering) seperti di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, daerah “gudang beras” di Kabupaten Tabanan memiliki pemandangan dan keindahan panorama alam.

Perpaduan lembah dan perbukitan di bagian hulu Gunung Batukaru itu dikitari lingkungan dan kawasan hutan yang lestari, menjadi satu kesatuan hamparan lahan sawah yang cukup luas.

Berbagai terobosan dan upaya strategis perlu dilakukan, sebagai upaya mengimbangi pengakuan dunia internasional terhadap keberadaan organisasi subak di Pulau Dewata.

Upaya menyelamatkan sawah dan subak di Pulau Dewata itu sangat penting, karena merupakan salah satu aset budaya Bali yang memiliki peran strategis dalam sektor pertanian maupun kehidupan masyarakat sehari-hari.

Oleh sebab itu, keberadaan subak harus semakin diberdayakan dan diperkuat melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang nyata. Pemberdayaan wadah subak itu salah satu di antaranya melalui peninjauan kembali terhadap sistem pajak atas tanah termasuk sawah.

Besarnya pajak tanah, khususnya sawah agar jangan didasarkan pada lokasi tanah, karena lahan sawah yang berada di lokasi atau kawasan pariwisata akan menanggung beban pajak yang sangat mencekik petani.

Besarnya pajak yang tidak memihak kepada petani akan menjadi pendorong bagi petani atau pemilik lahan untuk menjual sawahnya. Tantangan lainnya yang dihadapi petani semakin terbatasnya sumber daya air dan kompetisi pemanfaatan air yang semakin meningkat.

Kondisi itu menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian dan salah satu dampaknya subak-subak hanya tinggal nama dan dikhawatirkan pariwisata budaya Bali juga akan terdegradasi.

Oleh karena itu, diperlukan adanya introduksi teknologi pertanian dan sistem agribisnis untuk mempertahankan subak yang masih sarat dengan sistem sosial budaya. Penguatan aspek ekonomis seperti pembentukan koperasi subak diharapkan dapat menjadi hambatan terhadap alih fungsi lahan, karena lahan sawah mampu memberikan tambahan produktivitas dan penghasilan, ujar Prof Windia. AN-MB