area-pertanian-di-bali-dengan-sistem-pengairan-subak-ilustrasi-_111028102333-734

Perpaduan sawah yang berundak-undak, lembah, pesisir pantai dan gunung merupakan panorama alam yang menambah daya tarik Bali, di samping keunikan seni budaya yang diwarisi masyarakatnya secara turun temurun.

Meskipun Bali hanyalah sebuah pulau dengan luas 5.632,86 kilometer persegi atau 0,29 persen dari luas Nusantara, namun memiliki semua unsur, mulai dari empat danau, sungai, gunung dan kawasan hutan membentang dan membujur dari arah barat ke timur pulau itu.

Wisatawan mancanegara yang berulang kali menghabiskan liburan di Pulau Seribu Pura tidak pernah merasa bosan dan jenuh, karena selalu akan menemukan suasana baru serta atraksi yang unik dan menarik untuk dinikmati.

Atas kondisi alam dan budaya Bali yang demikian itu, Bali pernah tampil sebagai pulau wisata terbaik di Asia dan di tingkat dunia, sehingga kunjungan wisatawan mancanegara maupun nusantara terus meningkat.

“Bali selama ini pernah menerima sejumlah penghargaan sebagai daerah tujuan wisata terbaik di Asia Pasfik maupun dunia,” tutur Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr I Nyoman Darma Putra, M.Litt.

Alumnus master University of Sydney dan jenjang doktor di University of Queensland, keduanya di Australia menyebutkan majalah pariwiwisata Travel and Leisure berdasarkan jajak pendapat dalam jaringan (online) di Amerika memberikan penghargaan kepada Bali secara berturut-turut.

Terakhir Bali mendapat prestasi sebagai “The Island Destination of the Year” dari majalah pariwisata terkemuka China, di samping masih banyak prestasi lainnya, di sela-sela berbagai berita negatif tentang Bali seperti serangan terorisme, sampah, kemacetan lalu lintas, dan pembangunan yang berlebihan di Pulau Dewata.

Penulis buku berjudul “Tourism, Development and Terorism in Bali” bersama Prof Michael Hitchcock (Inggris) menilai, semua prestasi yang diraih Bali merupakan hasil kolaborasi berbagai pihak di tingkat lokal, nasional, dan global.

Pria kelahiran Banjar Pandangsambian, Denpasar Barat, Kota Denpasar, 5 Desember 1961 itu menilai prestasi Bali dalam perkembangan pariwisata yang mencuat itu erat kaitannya dengan peran dan kolaborasi seniman (artis) dari barat, peneliti, sarjana, fotografer dan pembuat film.

Mereka datang dari berbagai negara di belahan dunia yang tinggal dan menetap di Bali untuk berkreativitas dengan kawan kreatif lokalnya. Pelukis dan seniman kelahiran Jerman, Walter Spies misalnya tidak saja melakukan riset untuk bukunya “Dance and Drama in Bali (co- authored by Berry de Zoete, edisi pertama 1938), juga secara kreatif mengembangkan tari kecak bersama seniman lokal I Wayan Limbak dari Bedulu, Gianyar.

Kecak dance kini banyak dipertontonkan untuk wisatawan. Hasil kolaborasi mereka itu menjadi garapan menarik bahkan menjadi ikon pariwisata budaya Bali.

Eksternal dan internal Suami dari Nyonya Diah Suthari asal kota Negara, Kabupaten Jembrana, wilayah barat Bali yang sering tampil sebagai pembicara dalam seminar nasional dan internasional itu melihat perkembangan pariwisata Bali dari sudut pandang globalisasi menunjukkan adanya usaha kolaborasi antara kepentingan eksternal dan internal.

Perkembangan pariwisata Bali menunjukkan contoh menarik bagaimana proses globalisasi dan lokasisasi dalam pengertian kedua kekuatan masing-masing memainkan peran spesifik untuk membuat pariwisata Bali bermula dan berkembang.

Hal itu dapat dilihat dalam tonggak-tonggak perkembangan pariwisata Bali yang bermula dari terpancang sekitar dekade kedua abad ke-20, antara lain ditandai dengan keputusan pemerintah kolonial Belanda untuk mempromosikasn Bali sebagai destinasi wisata.

Langkah nyata itu mendorong perusahaan kapal Koninklijke Pakketvaart-Maatschappij (KPM) untuk mulai mengangkut penumpang ke Bali. Awalnya, KPM adalah sarana transportasi antar-kepulauan di Nusantara yang merupakan kapal kargo yang mengangkut komoditas dagang termasuk kopra.

Namun mulai awal 1920-an, KPM mentransformasi sebagian deknya untuk mengakomodasi penumpang orang, dan mulai mengangkut wisatawan mancanegara ke Pulau Dewata.

Dalam waktu yang bersamaan pemerintah kolonial Belanda juga menetapkan kebijakan “Baliseering”, yakni melestarikan kebudayaan dan tradisi Bali, sebagai bagian dari kebijakan politik-etisnya.

Pemerintah kolonial juga mendirikan Museum Bali tahun 1910, rampung akhir 1920-an, di jantung kota Denpasar. Museum yang hingga kini dikenal dengan nama Museum Bali masih kokoh berdiri dan terbuka untuk umum di sebelah timur Puputan Badung Denpasar.

Selain untuk melestarikan unsur-unsur kebudayaan Bali, Museum Bali juga menjadi objek wisata untuk industri kepariwisataan yang saat itu baru mulai berbenih. Meskipun pada fase awal pemerintah Belanda, sebagai kekuatan eksternal memainkan peran dominan, namun peran masyarakat lokal tidak bisa diremehkan, khususnya kalangan seniman dan perajin.

Masyarakat setempat menyediakan bakat dan keterampilan di bidang seni rupa dan seni pertunjukan untuk mendukung kelahiran Bali sebagai destinasi wisata, tutur Darma Putra, ayah dari seorang putra dan seorang putri masing-masing Putu Prasista Bestari dan Ni Made Prasiwi Bestari.

Demikian pula tokoh Puri Ubud Tjokorda Agung Sukawati bekerja sama dengan seniman asing Walter Spies dan Rudolf Bonnet membentuk kelompok seniman Pita Maha untuk menyiapkan cenderamata serta mengoleksi seni patung dan lukis bermutu untuk menjadi koleksi museum dan warisan budaya.

Menyusul pembangunan Bali Hotel di pusat kota Denpasar pada tahun 1928 oleh KPM. Fasilitas akomodasi adalah hal mutlak dalam kegiatan kepariwisataan. Bali Hotel terletak sekitar 500 meter dari Museum Bali.

Fakta itu menunjukkan bahwa kedua properti itu sengaja dibangun sebagai pilar perkembangan kepariwisataan. Hotel ini sejak awal merupakan hotel mewah, tampil dengan manajemen dan arsitektur Belanda. Sampai tahun 1970, Bali Hotel masih merupakan sarana akomodasi yang berkelas di Bali, karena saat itu belum banyak muncul hotel mewah.

Namun beberapa tahun belakangan, ketika hotel-hotel baru muncul di kawasan Sanur, Kuta, Nusa Dua, Seminyak, dan Canggu, hotel historis Bali Hotel mulai kehilangan magnetnya, apalagi kebanyakan wisatawan lebih senang berlibur di daerah pantai daripada di kota.

Peran masyarakat lokal pada pengembangan pariwisata era tahun 1930-an, 1940-an, dan 1950-an, terlihat pada partisipasi mereka dalam menyiapkan daya tarik khususnya pementasan seni dan aneka jenis cenderamata.

Sesudah kemerdekaan 1945, pembangunan kepariwisataan Bali dan Indonesia umumnya juga mendapatkan keuntungan kolaborasi dari usaha lokal, nasional, dan internasional.

Hotel pertama yang dibangun di Bali adalah Bali Beach Sanur (kini Grand Bali Beach), mulai dibuka November 1966. Pembangunan hotel itu merupakan inisiatif pemerintah pusat, dan regim Soekarno menggunakan biaya pampasan perang dari Jepang.

Dengan menggunakan uang pampasan perang Jepang juga, pemerintahan pusat membangun sejumlah hotel seperti Ambarukmo di Yogyakarta dan Samudera Beach Hotel di Jawa Barat.

Hotel Bali Beach pertama kali dikelola oleh the Intercontinental, sebuah jaringan manajemen hotel internasional yang dengan otomatis memasukkan hotel yang dikelolanya di Bali ke dalam peta pemasaran pariwisata global.

Pada saat yang sama, pemerintah Pusat juga memperluas Bandar Udara Ngurah Rai menjadi bandara internasional sehingga bisa menerima pendaratan pesawat-pesawat berbadan lebar yang membawa wisatawan ke Bali.

Hotel baru dan Bandar udara baru memang saling membutuhkan. Pesawat tidak akan dapat turis untuk dibawa ke Bali kalau tidak ada fasilitas hotel, sedangkan hotel akan kosong kalau tidak ada bandara yang bisa menerima pendaratan pesawat yang mengangkut wisatawan.

Di antara maskapai penerbangan internasional yang mulai masuk Bali pada 1970-an adalah Qantas, Thai Airways, dan Pan American (Panam). Mirip dengan peran KPM tahun 1920-an dan 1930-an, maskapai-maskapai penerbangan internasional ini menghubungkan Bali dengan kota-kota dunia luar melalui Asia, Australia, dan Amerika, tutur Prof Darma Putra. AN-MB