Oleh :

Made Mangku Pastika

(Gubernur Bali)

 Banyak kalangan masih mempertanyakan apakah program Bali Mandara mampu membuat Bali ini “mandiri”, mengingat sangat banyak kebutuhan pokok masyarakat Bali saat ini didatangkan dari luar Bali, mulai dari keperluan pokok sehari-hari sampai pada sarana upakara, seperti busung, kelapa, ayam dan bebek. Saya memberikan apresiasi atas pertanyaan tersebut, dan Saya menilainya sebagai sebuah otokritik yang konstruktif, untuk senantiasa membuat kita eling dan ngeh, ingat dan waspada, terhadap potensi tantangan dan ancaman ke depan, di samping kita tengah berjuang sekuat tenaga untuk membangun Bali saat ini.

Kemandirian tentu tidak diartikan kita menutup pasar terhadap produsen luar daerah. Kemandirian daerah tidak dapat dilepaskan dari potensi dan daya saing daerah. Semestinya dengan potensi yang kita miliki dan sumber daya manusia yang kreatif, semua atau paling tidak sebagian besar keperluan hidup dapat dipenuhi masyarakat Bali sendiri. Kemajuan pembangunan Bali menjadi magnet bagi daerah lain untuk datang dan merebut pasar di Bali. Sudah sewajarnya pasar Bali dipenuhi oleh produk barang dari berbagai daerah di tanah air, mulai dari kebutuhan pangan, sandang dan papan, sampai pada barang-barang keperluan upacara agama. Demikian pula dalam bidang tenaga kerja, membanjirnya tenaga kerja sektor formal maupun informal dari luar Bali, menjadi ancaman serius bagi angkatan kerja lokal, sekaligus tantangan dalam upaya penanggulangan pengangguran. Terlebih memasuki masyarakat ekonomi ASEAN 2015, Bali dengan segala aspek yang dimiliki, mulai dari produk barang, jasa, sampai kualitas sumber daya manusianya harus memiliki daya saing global.

Bali Mandara sebagai konsepsi dasar pembangunan daerah, dirumuskan dengan berpedoman pada pengalaman pembangunan masa lalu, potensi, permasalahan dan tantangan saat ini, serta tantangan dan prospek Bali ke depan. Jadi kemandirian daerah sebetulnya secara implisit sudah menjadi target dan sasaran pembangunan daerah saat ini.  

Sebagai visi pembangunan daerah, Bali Mandara dengan berbagai program prioritas pengentasan kemiskinan merupakan sebuah konsep pembangunan yang bertahap, berjenjang, dan berlanjut. Artinya, berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan akan diatasi secara gradual, tentu dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat.

Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, program Bali Mandara berpijak pada 5 (lima) pilar, yaitu: pro-growth, pro-poor, pro-job, pro-environment, dan pro-culture. Pro-growth. Pertumbuhan ekonomi Bali yang terus meningkat dan berada di atas rata-rata nasional merupakan sebuah kemajuan nyata pembangunan saat ini. Bahkan pertumbuhan tersebut, Saya upayakan diikuti dengan pemerataan di seluruh Bali, dan multiflier effect lebih meluas dari setiap sektor unggulan, melalui pembangunan beberapa infrastruktur strategis di Bali utara, Bali barat, dan Bali timur.

Pro-poor. Program pembangunan berpihak pada masyarakat miskin, dengan tujuan mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Masyarakat miskin, karena mereka tidak punya rumah layak, lalu mereka sakit, karena tidak bisa berobat mereka tidak bisa bekerja, sehingga tidak punya penghasilan layak, tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya, dan seterusnya. Rantai kemiskinan ini harus dipotong dengan berbagai program, seperti  Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), Bedah Rumah, Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri), beasiswa miskin, pendidikan kecakapan hidup, dan Gerakan Pembangunan Desa Terpadu (Gerbangsadu). 

Pro-job. Kemajuan pembangunan telah memberikan dampak perluasan lapangan kerja dan pengurangan pengangguran di Bali. Angka pengangguran di Bali saat ini sebesar 1,87% merupakan angka pengangguran terkecil di tanah air. Berbagai jenis pendidikan kecakapan hidup membuat masyarakat Bali siap bersaing merebut bahkan menciptakan pasar kerja sendiri.  Demikian pula dengan pembinaan UMKM secara lebih intensif, akan mendorong perkembangan ekonomi kerakyatan, sekaligus juga memperluas lapangan kerja. Sementara program Simantri terbukti telah mampu menarik minat masyarakat, termasuk generasi muda untuk bertani.

Pro-environment. Filosofi Tri Hita Karana harus tetap menjadi landasan pembangunan.  Penjabarannya antara lain melalui program prioritas Bali Green Province, yang bertujuan memelihara dan melestarikan lingkungan dan alam Bali. Sementara program Simantri bertujuan memajukan sektor pertanian dalam arti luas, meliputi pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan. Apabila kemajuan pertanian ini terwujud, tentu semua produknya akan mampu memenuhi kebutuhan pasar daerah, mulai dari busung dan kelapa,  ayam, bebek, bahkan sapi Bali akan semakin berkembang populasinya.

Pro-culture. Kebudayaan daerah yang adiluhung menjadi pilar perkembangan pariwisata budaya, sebagai salah satu sektor utama pembangunan daerah. Budaya yang bernafaskan agama Hindu dan berakar pada kehidupan agraris masyarakat menyebabkan Bali menjadi unik, sekaligus menjadi keunggulan dan daya tarik utama kemajuan pariwisata. Bali Mandara memberikan perhatian serius pada upaya penggalian, pengembangan, dan pelestarian kebudayaan daerah, mulai dari perhatian dan pemberdayaan organisasi tradisional seperti desa pakraman, banjar, subak, dan sekaa-sekaa berikut parajuru-nya, sampai pada pelestarian unsur–unsur budaya lainnya, seperti Bahasa Bali, Kesenian dan upacara-upacara adat/agama.  

Secara substansial, program Bali Mandara adalah juga pemberdayaan masyarakat Bali, yang dilaksanakan secara simultan, bermuara pada pengentasan kemiskinan dan kemandirian masyarakat.

Ada tiga kluster penanganan kemiskinan di Bali. Pertama, “memberikan ikan” kepada kelompok rumah tangga sangat miskin. Program ini seperti bedah rumah, JKBM, beasiswa miskin, bantuan sembako, dan perlindungan sosial lainnya. Kedua, “memberikan pancing” kepada kelompok rumah tangga miskin. Program ini misalnya pembentukan kelompok simantri, kelompok-kelompok usaha mikro kecil, program pendidikan kecakapan hidup, dan sejenisnya. Ketiga, “memberikan sampan” kepada kelompok rumah tangga hampir miskin.  Program ini meliputi pemberian modal usaha, penyediaan pasar, jaminan kredit, dan sejenisnya. 

Sebagai contoh kemajuan realisasi program, sampai akhir tahun 2013 telah dibentuk 325 unit Simantri di 325 desa, sedangkan pada tahun 2014 akan dibentuk 100 unit. Sementara program Gerbangsadu sebagai program pemberdayaan ekonomi perdesaan, dengan bantuan sebesar Rp 1 milyar, yang diperuntukkan bagi desa yang memiliki penduduk miskin di atas 35%, pada tahun 2013 ini sudah menyasar 82 desa, atau seluruh desa sasaran. Sementara pada tahun 2014 akan dialokasikan menyasar 50 desa. Jadi program pemberdayaan masyarakat terus ditingkatkan baik kuantitas, kualitas, maupun efektivitasnya.

Angka kemiskinan masyarakat Bali dalam lima tahun terakhir menurun cepat, saat ini 3,95%, menurut beberapa pakar sudah memasuki hard rock. Angka ini selanjutnya akan sangat sulit untuk turun, atau mengalami penurunan yang sangat lambat, mengingat faktor dasar penyebab kemiskinan bukan sepenuhnya masalah ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan selain ekonomi sangat penting diterapkan, seperti pendekatan sosiologis dan pendekatan budaya. Budaya miskin masyarakat Bali masih ada, misalnya malas-malasan, suka berjudi, gengsi mengambil pekerjaan, dan sejenisnya, yang harus dikikis habis apabila kita ingin menghapus kemiskinan dari pulau Dewata.

Saya yakin angka kemiskinan saat ini dapat kita tekan menembus hard rock tersebut, melalui optimalisasi program Bali Mandara, serta tentunya partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat. Sejalan dengan itu, Saya tetap berharap masukan konstruktif dari semua pihak, mulai dari pengawasan terhadap implementasi program, sampai pada solusi terhadap berbagai permasalahan yang ada. Bali Mandara adalah program yang juga untuk mewujudkan Bali yang mandiri. Masyarakat Bali yang maju, aman, damai, dan sejahtera, adalah masyarakat Bali yang juga mampu memenuhi segala keperluan hidup dasar dan sosialnya, tanpa sangat tergantung pada daerah luar. Semoga dapat kita wujudkan! Terima kasih.

 

===================