Ilustrasi-Kumba Karna

Sepertinya, klaim dan deklarasi kubu 02 Probowo Subianto memenangkan pilpres 2019, demo massa, berikut safari elite politiknya, merupakan bagian dari apa yang disebut propaganda kematian politik. Meniru Michael Bakunin, anakhis Rusia, dalam prasenya: “..Propaganda by dead…” -provokasi lewat kematian. Strategi tersebut dilakukan agar publik tidak terfokus pada hasil pemilu, yang hampir semuanya menyatakan Jokowi-Ma’ruf unggul perolehan suara.

Deklarasi kemenangan Prabowo bukan keputusan personal, tentu bagian dari strategi propaganda politik demi “menangguhkan” kepercayaan publik pada hasil pemilu.
Sekaligus, BPN sebagai tim sukses berupaya meredam amarah sang Jendral pecatan yang juga pelarian di masa awal reformasi 1998. Disini ada isyarat: AwasTamak! Terlebih dengan adanya aksi turun kejalan (people power) dari Amin Rais, Egi Sujana dan tokoh yang sekelas lainya, lengkap dengan ancaman mak(l)ar-nya.

Klaim, deklarasi dan demo massa, serta safari politik paska pilpres sebelum ada keputusan dari pihak penyelenggara bukan hanya di Indonesia, namun juga di beberapa negara. Sejumlah alasan, mengapa muncul klaim, deklarasi dan aksi massa memenangkan pilpres sebelum ada keputusan yang sah di satu sisi, dan safari politik disisi lainnya.

Pertama, deklarasi atau klaim kemenangan tersebut untuk mengacaukan konsentrasi publik dan memberikan pesan kepada pemilih, khususnya pendukungnya bahwa pertarungan belum selesai dan semua kubu masih memiliki kans untuk menang. Dan lewat safari politik, menang-kalah tidak membuat menangis, karena pasti kebagian madu dan racunnya kuasa.

Kedua, klaim ini sebagai ‘counter hegemony’, dari dominannya pemberitaan yang nyatakan petahana lebih unggul.‎ Terlibih di zaman post-truth. Menurut kamus Oxford, Post-truth atau pascakebenaran adalah kondisi dimana faktatidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.

Memang klaim dan deklarasi kemenangan, serta safari politik tersebut sebagai propaganda politik yang sah-sah saja, seperti di layar TV, Ponsel, sampai di kelir wayang Ceng-blong. Namun disayangkan karena hal tersebut juga berdampak buruk bagi publik: hanya berbagi ‘madu-racun’ kuasa. Selain membingungkan publik terhadap hasil proses politik, hal tersebut juga mengarah pada delegitimasi demokrasi. Jika kedua hal tersebut terjadi, maka rakyat akan menjadi korban.

Strategi, propaganda dan safari politik ini mengingatkan kita (kembali) pada kisah, Aswatama. #AwasTamak, satu kebetulan? Sebagai anak Resi Drona, kesaktian dan kegagahan Aswatama tak mudah dikalahkan lawan. Bersama ayahnya ia bergabung dengan Kurawa hingga tatkala pecah perang Barata ia membantu Kurawa melawan Pandawa.

Suatu waktu terjadi insiden dimana antara dia dengan Prabu Salya raja Mandaraka -ingat Wiranto vs Prabowo 1998?! Aswatama menuduh Salya telah curang ketika menjadi kusir kereta perang Adipati Karna ketika perang dengan Arjuna. Setiap Karna melepas senjata, Salya selalu mencambuk kudanya hingga kereta bergoyang dan arah panah pun berbelok tidak mengenai sasaran. Tuduhan itu membuat Salya murka dan hampir terjadi baku hantam. Duryudana melerai dan menyalahkan Aswatama hingga si anak resi itu pun ditundung dan angkat kaki, tak pernah muncul kembali di Kurusetra.

Ia baru muncul setelah mengetahui Kurawa telah hampir ludas dan Duryudana sedang sekarat menghadapi ajal. Lebih-lebih setelah mengetahui bahwa ayahnya telah di-curang-i dengan mengabarkan kematian (kuda) Aswatama, dan akhirnya ajal di tangan Drestajumena. Timbul niatnya membalas atas kekalahan akibat apa yang disebutnya: terstruktur, sistematis dan massif.

Tapi untuk secara terang-terangan berhadapan dengan pandawa ia merasa tak mampu. Jalan satu-satunya mengadakan gerakan di bawah tanah/ngelandak, membuat terowongan yang arahnya menuju ke Pesanggrahan Pandawa dan harus dikerjakan di malam hari untuk tidak diketahui pihak Pandawa. Tapi waktu itu bulan sedang gelap.

Tiba-tiba ia teringat ibunya, Krepi, atau Dewi Wilutama yang seorang bidadari dari khayangan, untuk dimintai tolong memberi penerangan selama ia bekerja. Dipanggilnya melalui semadi dan seketika itu sang ibu telah berada di hadapannya seraya berkata: “Anakku, ibu mengerti engkau kesulitan membuat jalan di bawah tanah. Tetapi perang telah berakhir lebih baik engkau menyerah supaya engkau selamat,” pintanya.

“Menyerah? Oh tidak. hamba tidak akan menyerah sebelum dapat membalas kematian ayahnda, resi Drona dan raja hamba Duryudana yang sedang sekarat menghadapi ajal,” tolaknya tegas.

“Baiklah jika itu pilihanmu. Ibu akan menerangi dengan cahaya yang terang benderang selama engkau bekerja jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Jika kau langgar, selain cahaya akan lenyap seketika, kau pun akan tercatat sebagai anak durhaka dan akan menerima hukuman yang amat berat,” Aswatama menyanggupi karena pikirnya, apa susahnya tidak menoleh ke belakang.

Maka seketika menggebyarlah cahaya yang amat terang benderang di sekitar itu dan Aswatama pun mulai bekerja membuat lubang. lalu dari mana datangnya cahaya itu? Ternyata cahaya yang terang benderang itu datangnya dari tubuh sang bidadari setelah menanggalkan seluruh busananya kecuali penutup aurat.

Itulah sebabnya Aswatama dilarang menoleh kebelakang. Mula-mula ia bekerja seperti biasa. Tapi lama-lama badan dan kepalanya merasa pegal karena tak bergerak bebas. Di samping itu timbul keingintahuan cahaya dari mana yang diberikan ibunya. Cahaya dari swarga atau lampu dunia. Maka seketika itu ia nekad menoleh ke belakang dan… terdengar suara jerit sang bidadari seiring dengan itu keadaan menjadi gelap gulita. Sang Dewi terbang kembali ke khayangan seraya berkata: “Kau anak durhaka Aswatama.”

Apapun, makna cahaya yang keluar dari tubuh Krepi, atau Wilutama adalah lambang cinta kasih seorang ibu kepada anaknya. Sejak bayi lahir dari kandungannya, si ibu telah memberi sinar menerangi perjalanan hidup anaknya melalui air susunya. Karena itu anak wajib menghormati orang tuanya.

Tapi Aswatama tidak menyesal dengan kejadian itu, karena jarak menuju pesanggrahan Pandawa sudah amat dekat dan dalam tempo yang tidak lama, ia telah muncul di permukaan pesanggrahan Pandawa.

Waktu itu para satria sedang tidur lelap tak seorang pun yang terjaga. Maka dengan tenang si anak resi itu membunuh satu persatu para satria Pandawa seperti Drestajumena, Pancawala, Srikandi dan lain-lain. Ketika melangkah ke sebuah kamar launya, dilihatnya seorang anak bayi yang tak lain Parikesit anak Abimanyu, generasi penerus keturunan Pandawa yang harus segera di lenyapkan.

Aswatama tidak melihat bahwa di dekat kaki bayi Parikesit ada senjata Cakrawahyu/Cakrawyuha, atau ‘wahyu kuasa’ warisan dari bapaknya (Abimayu) yang sengaja ditaruh di situ, sebagai penjaga. Maka begitu Aswatama mengayunkan senjatanya ke tubuh si bayi, mendadak si bayi terbangun dan seperti ada kekuatan yang luar biasa, kakinya menendang Cakrawahyu hingga terpental menembus dada Aswatama. Maka selamatlah si bayi, yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan Astinapura.

Si pembunuh bertangan dingin itu langsung kabur, dengan luka di dada. Sebelum masuk ke hutan ia sempat memberitahu Duryudana yang sedang sekarat, bahwa sakit hati atas kecurangan telah terbalas, dan raja Astina merasa puas kemudian menghembuskan nafasnya.

Aswatama terluka oleh wahyu, karsa, atau keinginan untuk berkuasa. Sewaktu sukma Aswatama akan berpisah dari raganya kutuk Kresna bekerja, hingga sukmanya amblas ke dalam bumi bersatu dengan binatang-binatang kotor, merana dalam tiga ribu tahun lamanya. Waktu yang panjang, dan sampai kini sang Kalla menyusup di tulang sumsum bangun kuasa, apapun sistemnya.

Apapun, publik perlu waspada! #AwasTamak! Untuk itu, para elit politik dan jaringannya (Oligarkhi) cukup sudah manuver politik tontonan tanpa tuntunan. Jadikan rakyat atau demokrasi selaku pemenang dan memimpin Indonesia untuk 5 tahun ke depan. Kembali pada tujuan format politik dalam mencapai kemaslahatan rakyat, “semua untuk semua, sampai tidak ada lagi tersisa untuk penguasa”!

Sekali lagi, baiknya tentu para elite politik (Oligarkhi) dan publik menahan diri, dengan memberi ruang seluasnya kepada pemenang proses politik untuk menentukan jalan mencapai kemaslahatan rakyat, di pusat, daerah sampai desa. Sudah tentu dengan kritis kita waspada pada kecendrungan kuasa:#AwasTamak! Namun, jangan terhasut propaganda politik beraroma ‘kematian’, seperti disampaikan mantan anggota DPR dalam sebuah diskusi: “…kematian 100-200 orang pasti, yang penting tujuan tercapai…”

Oleh : Ngurah Karyadi