Shanghai (Metrobali.com) –

Polusi yang parah di Beijing telah membuat ibu kota China itu “hampir tidak layak” huni, menurut sebuah laporan resmi China, seiring upaya ekonomi terbesar dunia itu untuk mengurangi tingkat kabut asap berbahaya yang disebabkan oleh pertumbuhan yang pesat selama beberapa dasawarsa.

Polusi merupakan masalah yang makin mengkhawatirkan bagi para pemimpin China yang sangat terobsesi dengan stabilitas, yang selalu berusaha untuk memadamkan setiap potensi kerusuhan saat penduduk kota yang makmur itu berbalik melawan model pertumbuhan ekonomi yang telah mencemari sebagian besar udara , air dan tanah di negara itu.

Laporan tersebut, yang disusun oleh Akademi Ilmu Sosial yang berbasis di Beijing dan Akademi Ilmu Sosial Shanghai, menempatkan ibukota Cina itu di tempat terburuk kedua dari 40 kota di seluruh dunia terkait dengan kondisi lingkungan, menurut laporan media resmi, Kamis.

Asap China telah membuat roda kehidupan di beberapa kota di China hampir terhenti, karena menyebabkan penundaan penerbangan dan memaksa sekolah-sekolah tutup.

Beijing dilanda polusi parah setidaknya sekali setiap pekan, menurut laporan Blue Paper for World Cities 2012. Itu merupakan peringkat tertinggi polusi udara yang mengurung ibu kota selama 189 hari pada tahun 2013 , menurut Biro Perlindungan Lingkungan kota itu.

Meskipun catatan rekor polusi China naik-turun, pemerintah pada Rabu mengatakan akan mengalokasikan dana 10 miliar yuan (1,65 miliar dolar) untuk mengatasi polusi udara, dan menawarkan imbalan bagi perusahaan yang melakukan operasi dengan bersih.

Secara keseluruhan , pemerintah telah berjanji untuk menghabiskan lebih dari 3 triliun yuan ( 494, 85 miliar dolar) untuk mengatasi masalah itu, yang menciptakan pasar yang berkembang bagi perusahaan yang dapat membantu meningkatkan efisiensi energi dan emisi yang lebih rendah.

Beijing juga akan menutup 300 pabrik yang mencemari tahun ini dan menerbitkan daftar proyek-proyek industri yang harus dihentikan atau ditangguhkan pada akhir April, kata kantor berita negara Xinhua. (Ant/Reuters)