Kolombo (Metrobali.com) –

Washington hari Minggu mendesak Sri Lanka menyelidiki pelanggaran hak asasi oleh pasukan keamanan setelah seorang utusan senior menyelesaikan misi pencari fakta di negara pulau itu, kata Kedutaan Besar AS di Kolombo.

Penyelidik kejahatan perang dari Kementerian Luar Negeri AS, Stephen Rapp, “mendengarkan penjelasan saksi mata mengenai pelanggaran serius hak asasi manusia” selama misi lima hari di negara itu yang berakhir Sabtu, kata kedutaan tersebut.

“Selama pembicaraan, Duta Besar Rapp mendengarkan penjelasan saksi mata mengenai pelanggaran serius hak asasi manusia dan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional, termasuk yang terjadi pada akhir perang,” kata kedutaan itu dalam sebuah pernyataan.

“Dalam konteks itu, pemerintah AS mendorong pemerintah Sri Lanka mencari kebenaran melalui penyelidikan independen dan terpercaya, dan melakukan penuntutan jika relevan,” katanya.

Selama kunjungan itu, kedutaan tersebut menyulut amarah pemerintah Sri Lanka dengan memasang pernyataan di Twitter bahwa pemboman militer Sri Lanka menewaskan ratusan keluarga pada Januari 2009, tahap akhir perang saudara di negara pulau itu.

Seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Sri Lanka mengatakan, pernyataan itu dibahas ketika Rapp bertemu dengan Menteri Luar Negeri G. L. Peiris pada Jumat namun kedua pihak tidak memberikan penjelasan mengenai pertemuan tersebut.

Pasukan Sri Lanka meluncurkan ofensif besar-besaran untuk menumpas kelompok pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) pada 2009 yang mengakhiri perang etnik hampir empat dasawarsa di negara tersebut.

Namun, kemenangan pasukan Sri Lanka atas LTTE menyulut tuduhan-tuduhan luas mengenai pelanggaran hak asasi manusia.

Pada September 2011, Amnesti Internasional yang berkantor di London mengutip keterangan saksi mata dan pekerja bantuan yang mengatakan, sedikitnya 10.000 orang sipil tewas dalam tahap final ofensif militer terhadap gerilyawan Macan Tamil pada Mei 2009.

Pada April 2011, laporan panel yang dibentuk Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mencatat tuduhan-tuduhan kejahatan perang yang dilakukan kedua pihak.

Sri Lanka mengecam laporan komisi PBB itu sebagai “tidak masuk akal” dan mengatakan, laporan itu berat sebelah dan bergantung pada bukti subyektif dari sumber tanpa nama.

Sri Lanka menolak seruan internasional bagi penyelidikan kejahatan perang dan menekankan bahwa tidak ada warga sipil yang menjadi sasaran pasukan pemerintah. Namun, kelompok-kelompok HAM menyatakan, lebih dari 40.000 warga sipil mungkin tewas akibat aksi kedua pihak yang berperang.

PBB memperkirakan, lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik separatis Tamil setelah pemberontak Macan Tamil muncul pada 1972.

Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.

Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak. Mayoritas penduduk Sri Lanka adalah warga Sinhala. (Ant/AFP)