IMG_20150917_155157

Arjaya berbincang dengan pedagang Angsoka, Kereneng.

Denpasar (Metrobali.com) –

Kebijakan tegas DPP PDIP yang memecat I Made Arjaya karena mencalonkan diri sebagai calon walikota Denpasar melalui partai lain, rupanya tak diratapi Arjaya. Arjaya yang dikenal sebagai politisi militan PDIP ini menegaskan, bahwa sebagai pejuang demokrasi, dirinya telah siap pelbagai konsekuensi atas pilihan politik yang diambilnya.

“Setiap langkah serta keputusan yang diambil pasti ada resikonya. Kita sudah berhitung dengan resiko. Jadi, saya hanya ingin menyampaikan terima kasih kepada PDIP serta rekan-rekan seperjuangan di partai,” kata Arjaya di Denpasar, Minggu (20/9). Arjaya mengaku tak terkejut dipecat partainya.

Menurutnya, upaya menyingkirkan dirinya dari PDIP sudah lama dilakukan oleh oknum-oknum yang mengendalikan PDIP Bali beberapa tahun terakhir. Penyebabnya karena sikap politik Arjaya yang kerap berseberangan dengan elit partainya. Padahal ketegasan sikap Arjaya itu dijiwai oleh spirit perjuangan PDIP.

Ia hanya menginginkan PDIP berdiri tegak pada ideologi dan garis perjuangannya. Putra Alm. I Nyoman Lepug, tokoh PDIP yang telah berjasa besar membesarkan PDIP di Bali, ini menitipkan pesan kepada ketua DPD PDIP Bali I Wayan Koster agar bisa memimpin PDIP Bali ke arah yang lebih baik.

Mantan ketua Komisi I DPRD Bali yang terkenal vokal ini, bahkan dikenal berani berseberangan sikap dengan partainya itu memberi atensi khusus kepada Koster, agar tak melupakan sejarah kiprah PDIP di Bali. Menurut politisi muda asal Sanur ini, jangan karena kuatnya nafsu menjadi Gubernur Bali pada tahun 2018 mendatang, Koster lantas melupakan sejarah bagaimana PDIP Bali bisa sebesar sekarang.

Menurutnya, PDIP jangan hanya dijadikan batu loncatan untuk merebut kekuasaan, tapi melupakan sejarah perjuangan partai. “Karena Pak Koster dulu bukan PDIP, serta beliau baru di partai ini, jadi saya titip partai ini untuk dijaga. Jangan sampai partai hanya dijadikan sebagai tempat untuk mencari kekuasaan,” kata Arjaya.

Arjaya menuturkan, partai berlambang banteng gemuk masih bernama PDI dan mengalami fase kritis eksistensi dan perjuangannya karena hendak dihancurkan Orde Baru ketika itu, tidak ada yang berani bergabung dengan partai tersebut. Namun, ketika partai itu sudah berubah nama menjadi PDIP dan menjadi partai yang besar, semua berbondong-bondong masuk menjadi kader partai, salah satunya Koster.

“Ini bukti sebagaimana yang pernah dikatakan orang tua saya dulu (Alm. Nyoman Lepug).  Ketika PDIP lahir menjadi partai yang berpengaruh di Bali dan nasional semua berebut masuk. Jadi di partai saat ini tidak hanya ada banteng, tetapi ada tikus, kerbau dan lain-lain di dalamnya,” ungkap Arjaya.

Menurut Arjaya, dari proses sejarah dan garis perjuangan partai dapat dilihat bahwa banyak kader PDIP saat ini bukan lahir dari kelompok perjuangan nasionalis bahkan marhaenisme. Mengingat, banyak kader partai yang tidak paham mengenai spirit serta garis perjuangan partai. Buktinya, ada kader PDIP yang menyebut salah ideologi partai.

“Umpamanya saya dipecat, selaku pejuang yang ikut berjuang membesarkan partai yang dulunya PDI sampai berubah namanya menjadi PDIP berharap partai ini tetap berdiri tegak untuk membela kaum tertindas. Saya tahu bahwa orang-orang yang ada saat ini adalah adalah orang yang ada setelah berubah nama menjadi PDIP. Tak pernah merasakan jatuh bangun partai yang sebelumnya bernama PDI hingga menjadi nama PDIP,” tuturnya.

Menurutnya,  pemecatan dirinya menandakan partai yang sangat dicintainya itu telah melupakan sejarah. Menurutnya, PDI (sebelum berganti nama jadi PDIP) dizolimi pada zaman Orde Baru. Di tengah bayang-bayang kehancuran PDI ketika itu, Bali pasang badan untuk menyelamatkan partai tersebut. Di tengah ketakutan daerah lain menggelar kongres PDIP akhir tahun 1990-an, Bali pasang badan untuk menyelamatkan partai itu. PDI akhirnya menggelar kongres di Bali, dan nama PDIP lahir dari kongres di Bali.

Salah satu tokoh yang memberi jaminan PDI menggelar kongres di Bali adalah ayahnya, Alm. I Nyoman Lepug. Arjaya muda ketika itu bahu membahu bersama ayahnya dan tokoh PDIP lainnya untuk menyukseskan kongres tersebut. Menurut Arjaya, totalitas perjuangan dan pengorbanan menggelar kongres PDIP di Bali ketika itu menjadi tonggak awal berkibarnya panji-panji kejayaan PDIP di Tanah Air. JAK-MB