Ngurah Karyadi

Dalam kasus hukum yang membelit Nyoman Dhamantra (ND), terkait Impor Bawang Putih (Kesuna), terungkap dugaan arahan atau bujukan kesaksian, yang dilakukan penyidik KPK. Hal ini mengingatkan pada penangkapan Bambang Widjojanto atas dugaan kejahatan Pasal 242 KUHP juncto Pasal 55 KUHP. Sebab, pada saat itu dia bertindak sebagai kuasa hukum Ujang Iskandar, calon bupati dari Partai Demokrat, dalam kasus Pilkada Kotawaringin Barat melawan Sugianto Sabran, calon bupati dari PDI-P.

Dalam kasus ND, penyidik KPK diduga telah mengarahkan saksi, terhadap Deniar Putri (DP) misalnya, kasir PT. Indocev, untuk memberi keterangan yang tidak benar alias palsu. Meskipun kemudian diingkari, dan diluruskan saksi DP dalam persidangan di PN Jakarta Pusat. Dugaan itu cukup mengejutkan, karena Penyidik KPK dapat menjadi tersangka atas tuduhan sebagai pelaku pidana Pemalsuan.

Tindak pidana pemalsuan

Pemalsuan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan Bab IX KUHP dengan judul “Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu”. Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (obyek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seperti benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar. Pertama adalah norma kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan. Kedua adalah norma ketertiban masyarakat yang pelanggarnya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.

Terkait dengan kasus DM di atas, tidak ada tindak pidana sendiri yang mengatur tentang kejahatan bagi seorang Penyidik yang menganjurkan saksi persidangan memberi keterangan palsu di depan sidang pengadilan sehingga tuduhan terhadap Penyidik tersebut dikaitkan dengan ketentuan Pasal 55 Ayat (2) yang mengatur tentang pembujukan, uitlokking.

Adapun, Pasal 242 Ayat (1) berbunyi , “Barang siapa dalam hal-hal yang menurut undang-undang menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang khusus untuk itu dihukum penjara selama-lamanya  tujuh tahun.” Kemudian,

Sementara, Pasal 55 Ayat (2) berbunyi, “Barang siapa yang dengan, pemberian janji-janji, penyalahgunaan wewenang, kekerasan, ancaman, tipu muslihat, atau dengan cara memberi kesempatan, sarana atau informasi sengaja menganjurkan atau membujuk (dilakukannya) suatu tindak pidana akan dipidana sebagai pelaku kejahatan.”

Pertanyaannya, kapan seorang “saksi atau pembujuk saksi” di depan persidangan dapat dihukum karena memberi keterangan palsu melanggar Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP? Agar seorang saksi persidangan yang memberi keterangan palsu dapat dihukum, harus memenuhi syarat formal dan material. Syarat formalnya adalah seorang saksi persidangan dituduh memberi keterangan palsu di persidangan harus ada penetapan hakim sidang.

Syarat materialnya adalah harus atas sumpah,  keterangan itu diwajibkan menurut UU atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu, dan keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuannya diketahui oleh si pemberi keterangan (saksi).

Pembujuk saksi palsu di dalam persidangan menurut hukum harus memenuhi unsur-unsur pidana, antara lain adanya kesengajaan menggerakkan orang lain, melakukan suatu tindakan yang dilarang undang-undang dengan bantuan sarana sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 55 Ayat (2) KUHP, keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus dibangkitkan (secara psikis), dan orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi) mewujudkan rencana yang ditanamkan oleh pembujuk atau penggerak untuk melakukan tindak pidana.

Penyidik dan saksi‎

Pertanyaannya kemudian, seorang penyidik terkait dengan upaya pembuktian terhadap penyidikan kemudian telah mengarahkan saksi persidangan memberi keterangan palsu, apakah yang bersangkutan dapat dituntut melakukan tindak pidana pemalsuan melanggar Pasal 242 juncto Pasal 55 Ayat (2) KUHP.

Seorang Penyidik di dalam melakukan tugas profesionalnya di dalam penyidikanya, pada hemat saya, dapat dituntut melakukan “pembujukan” terkait kejahatan pemberian keterangan palsu menurut Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP disebabkan unsur “sarana pembujukan” sebagaimana disebutkan oleh ketentuan Pasal 55 Ayat (2) KUHP terpenuhi.

Di dalam melakukan penyidikan terhadap saksi-saksi, seorang penyidik dapat menggunakan sarana pembujukan, seperti pemberian, janji-janji, penyalahgunaan wewenang, kekerasan, ancaman, dan tipu muslihat, atau dengan cara memberi kesempatan, sarana, atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (2) KUHP. Pembujukan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana tergantung pada (ada/tidaknya) sejumlah “sarana pembujukan” yang diperinci dengan tegas oleh Pasal 55 Ayat (2) tersebut.

Saksi dan keterangan saksi menurut Pasal 185 KUHAP memiliki penerapan sendiri, tidak tergantung pada palsu atau tidaknya keterangan yang diberikan, tetapi apakah keterangan tersebut memiliki nilai kekuatan pembuktian atau tidak. Apalagi, setiap saksi ketika dihadirkan di depan persidangan, yang bersangkutan selalu diingatkan oleh hakim (imperatif sifatnya) untuk memberi keterangan dengan benar tentang apa yang diketahui, dilihat, dan dialaminya sendiri karena terikat sumpah. Jadi, menurut pendapat kami, terkait dengan keterangan saksi di persidangan berlaku ketentuan Pasal 55 KUHP.

Dengan demikian, jelas apa pun anjuran atau pembujukan yang dilakukan seorang Penyidik terhadap saksi persidangan dapat memenuhi persyaratan Pasal 55 Ayat (2) KUHP. Sehingga, dapat dipertanggungjawabkan sebagai “pembujukan” dalam hukum pidana karena yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan atas keterangan yang diberikan seorang saksi di depan persidangan. Selain ada unsur kesalahan, serta memenuhi persyaratan sarana di dalam pembujukan Pasal 55 Ayat (2) KUHP. Mengingat seorang saksi di depan persidangan disamping bertanggung jawab sendiri atas seluruh keterangan yang diberikan di depan persidangan tentang apa yang dilihat, didengar, dan dialaminya sendiri, sekaligus menyangkut pembuktian di persidangan.

Kasus dugaan pemalsuan kesaksian oleh Penyidik KPK dalam kasus DM harus menjadi perhatian dan tak bisa dianggap enteng para penyidik. Publik mungkin lebih tertarik dengan masalah politisi versus KPK. Namun, masalah tuduhan terhadap seorang penyidik harus pula menjadi perhatian bersama dalam penyidikan.

Tentang Penulis

Ngurah Karyadi, petani dan penulis lepas‎