wayang-ramayana

Gianyar (Metrobali.com)-

Pengamat pewayangan Made Sidia menganggap apresiasi masyarakat Bali terhadap wayang kulit masih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Tanah Air.

“Kami amati kesenian wayang kulit di Bali masih eksis ditengah era globalisasi. Hal tersebut secara tidak langsung sebagai bentuk pelestarian karena sering menjadi media ritual keagamaan,” kata dosen jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu di sela-sela acara “Wayang for Student” di Museum Topeng dan Wayang Setia Darma Prayitno, di Ubud, Kabupaten Gianyar, Selasa (15/4).

Menurut dia, setiap ritual keagamaan di Bali tidak terlepas dari pertunjukan wayang kulit dan topeng.

“Mulai dari pementasan wayang kulit di areal pura hingga pementasan untuk pertunjukan yang disebut “bali-balian”. Pementasan ini merupakan dari ekspresi dan inovasi yang pesannya mengandung filsafat, etika hingga isu kekinian,” ucap Sidia yang sudah melanglang buana sebagai dalang itu.

Oleh sebab itu, dia yakin di Pulau Dewata kesenian wayang kulit tidak akan punah sepanjang masih ada kegiatan ritual keagamaan.

“Bali akan tetap memiliki dan melestarikan kesenian wayang kulit itu, sepanjang ada kegiatan ritual. Di Pulau Dewata dalang yang ada hampir 50 persen belajar secara turun-temurun,” kata Sidia yang juga putra dalang terkenal di Bali.

Menurut dia, kesenian wayang kulit perlu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak, sehingga masyarakat akan tertarik mencintai seni pedalangan tersebut.

“Saya memberikan metode kepada generasi muda tidak monoton dalam menggelar kesenian tradisional, namun harus dikolaborasi dengan sentuhan teknologi modern seperti pementasan wayang kulit diisi dengan latar belakang tata lampu, efek suara, sehingga kesenian ini bisa mengikuti zaman namun tetap menjadi tradisi kebudayaan,” katanya. AN-MB