yusril_ihza_mahendra

Jakarta (Metrobali.com)-

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengujian undang-undang yakni UU Kehutanan, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Penataan Ruang yang diajukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia.

“Ketiga UU itu saling bertabrakan satu dengan yang lain sehingga menimbulkan ketidakkepastian hukum bagi pemohon,” kata kuasa hukum APKASI Yusril Ihza Mahendra saat sidang pemeriksaan pendahuluan di MK Jakarta, Rabu (3/9).

Pemohon menguji Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), (4), Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), (2), Pasal 38 ayat (2), (5), Pasal 50 ayat (3) huruf g, Pasal 66 ayat (1), (2), (3) UU Kehutanan; Pasal 189 UU Pemda; dan Pasal 1 angka 34, Pasal 18 UU Penataan Ruang.

Semua pasal itu menyangkut proses perizinan dan pemanfaatan kawasan hutan tertentu dan tata ruang daerah harus persetujuan menteri terkait.

Yusril menilai semangat UU Kehutanan itu bersifat sentralistik karena dibuat masa transisi Orde Baru, sehingga Pasal 4 ayat (2) UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.

Dia mengungkapkan pasal-pasal dalam UU Kehutanan tidak memberi pengaturan kewenangan yang adil dan selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun memberikan monopoli pada pemerintah pusat terkait perizinan kawasan hutan melalui menteri.

“UU Kehutanan dibentuk sebelum amandemen UUD 1945. Jadi, semua norma UU Kehutanan sejauh memberi kewenangan penuh pada pemerintah pusat di bidang kehutanan tidak merujuk pada Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 terkait otonomi daerah. Padahal, hutan ada di daerah, bukan di pusat,” kata Yusril.

Menurut dia, kewenangan pemerintah pusat ada pada level kebijakan, pengawasan dan pengelolahan kawasan-kawasan yang sudah ditetapkan sebagai taman nasional atau kawasan hutan lindung. Sedangkan kewenangan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah daerah.

Terkait UU Penataan Ruang dan UU Pemda, kata Yusril, juga ada perbedaan.

Dia mengungkapkan bahwa dalam UU Pemda mensyaratkan adanya koordinasi lewat menteri dengan menuangkan tata ruang daerah dalam Perda, sedangkan UU Penataan Ruang mensyaratkan adanya persetujuan substansi oleh menteri.

“Jadi, syarat koordinasi atau persetujuan substansi? Kalau koordinasi, ya koordinasi saja yang dipakai,” kata Yusril.

Sidang panel permohonan APKASI ini dipimpin Ketua Majelis Panel Muhammad Alim didampingi Wahiduddin Adams dan Arief Hidayat sebagai anggota.

Menanggapi permohonan ini, Arief Hidayat mempertanyakan legal standing (kedudukan hukum) APKASI apakah mewakili pemerintah daerah seluruh Indonesia atau sebagai organisasi.

“Kalau organisasi perkumpulan harus ada pengesahan dari Menkumham, ini perlu dielaborasi dan diperjelas dalam permohonan,” kata Arief.

Arief juga menyarankan permohonan menjelaskan hubungan disharmoni antara UU Kehutanan dan UU Pemda terkait sektor yang diotonomikan.

Untuk itu majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya. AN-MB