SUDAH lama, sejak sekolah dasar di tahun 80-an, saya sudah sering mendengar istilah Tengkulak baik dari tetangga maupun guru di sekolah. Konon ulah Tengkulak membuat masyarakat petani jadi melarat. Tengkulak diidentikan dengan profesi yang sering merugikan petani, karena membeli dan memainkan harga produk pertanian dengan seenaknya di kampung-kampung. Lebih tepatnya Tengkulak dianggap sama seperti “lintah darat” yang merugikan rakyat. Benarkah?

Pada jaman “Orde Baru” banyak dimuat dan diulas kiprah Tengkulak di buku-buku pelajaran sekolah. “Intinya, buku pelajaran tersebut mengingatkan agar petani tidak menjual gabah atau produk pertanian lainnya ke Tengkulak. Sebaiknya jual saja ke Koperasi Unit Desa (KUD) saja,” begitu tertulis dalam buku pelajaran yang hingga saat ini aku kenang.

Era tahun 80-an puluhan KUD berdiri di desa-desa. Petani pun menyambut gembira. KUD ditugaskan menyalurkan pupuk bagi petani dan membeli gabah petani dengan harga pantas. Saat itu, di beberapa desa di Bali KUD berkembang sangat pesat dan maju.

Minggu lalu saya sempat berjalan-jalan ke desa tetangga, di wilayah Kab. Tabanan. Menyapa petani padi yang kebetulan adalah seorang sahabat. Saya pun bertanya tentang kiprah “Tengkulak dan atau Pemajeg” yang sering saya dengar sejak lama di desa-desa pertanian padi sawah.

“Apa beda Tengkulak, Pemajeg,“ tanya saya serius. Dengan sedikit hati-hati sahabat saya itu pun menjelaskan.

Tengkulak adalah; orang yang meminjamkan uang kepada petani dalam kurun waktu tertentu dengan tingkat bunga uang tertentu pula. Petani peminjam wajib mengembalikan pinjaman uang  berupa pokok  plus bunga dengan gabah saat panen. “Sekali lagi dengan gabah,” tegasnya.

Petani akan bersyukur jika panen padi bagus sesuai target sehingga dapat menutupi total pinjaman plus bunga ke Tengkulak. Tapi sebaliknya, petani akan rugi jika hasil panen tidak sesuai dengan harapan, bisa saja karena serangan tikus atau pengaruh cuaca. Petani akan menangis, karena hasil panen gabah tidak sesuai dengan nilai pinjaman yang sudah menjadi kesepakatan. Dalam kasus ini, petani tetap membayar pinjaman dengan gabah ke Tengkulak, kekurangannya tetap menjadi hutang ke Tengkulak tersebut. Akhirnya petani pun terjerat dengat situasi yang serba sulit. Gabah habis, tapi hutang tetap ada. Mau dibayar dengan uang, uangpun tidak cukup. Beda halnya kalau petani peminjam memperoleh panen gabah yang lumayan, sehingga mampu menutupi jumlah hutang ke Tengkulak. Sisa gabah bisa buat makan, atau di jual.

Dari penggambaran diatas jelas Tengkulak tidak memiliki resiko apa-apa dalam urusan padi atau gabah. Apakah panen gagal karena serangn tikus atau cuaca, Tengkulak tidak mau tahu. Tengkulak tidak memberi jaminan atau potongan apa-apa jika panen padi atau hasil gabah minim akibat hama atau alam. Utang  tetap hutang, bahkan sering membengkak karena bunga berbunga.

Lebih lanjut, Tengkulak juga berprofesi sebagai agen pembeli dan penjual gabah petani. Jika hasil panen berhasil atau berlimpah, Tengkulak akan membeli gabah petani dengan murah. Kalau petani tidak mau Tengkulak pun tidak memaksa. Intinya petani selalu berada dalam posisi yang menanggung resiko paling besar.  Tidak dijual,  petani tidak punya uang. Jika dijual harga gabah yang dibeli Tengkulak relative lebih murah.

“Maka, benarlah jika pemerintah dijamannya mengimbau agar jangan menjual gabah ke Tengkulak, “pikirku dalam hati.

Kondisi sekarang, di era globalisasi dan pasar bebas, kiprah dan Visi/misi KUD yang adi luhung mulai terasa memudar. Bahkan banyak KUD jatuh bangkrut bahkan tutup,  dan anehnya Tengkulak tetap eksis. Lalu petani menjual gabah kemana?, petani pun sering tidak ada pilihan. “Namun syukur saat ini sudah ada lembaga dengan sebutan lain yang membeli gabah petani dengan harga pantas, “jelas sahabatku.

“Namun tetap saja perolehan uang hasil penjualan gabah oleh petani tidak sebanding dengan tuntuntan hidup, walau hanya untuk pemenuhan kebutuhan dasar saja. Harga-harga kebutuhan pokok terlanjur melaju tak terkendali,” tandas sahabatku.

Cerita lain dalam urusan panen padi, di kenal dengan istilah “Pemajeg”, jelas sahabat saya itu. Pemajeg adalah orang bergerak di bidang usaha dengan jalan membeli padi di sawah. “Sekali lagi membeli padi di sawah,”tegasnya.  Sistem kerja Pemajeg diawali dengan menaksir tanaman padi di sawah yang siap panen. Pemajeg yang berpengalaman sangat cermat menaksir kondisi tanaman dan buah padi dan memperkirakan berapa jumlah gabah yang akan diperoleh. Dengan melakukan taksiran dalam luasan tertentu (sering disebut Nyeket), seorang Pemajeg akan menawarkan harga pembelian ke petani. Jika harga pajegan cocok petani langsung diberikan uang oleh Pemajeg. Urusan jadwal dan teknis panen, selanjutnya menjadi urusan Pemajeg. Petani tidak perlu repot-repot lagi, dan selanjutnya resiko terhadap keberadaan padi di sawah sudah menjadi tanggungjawab di pihak Pemajeg.

Pola panen dengan system Pajeg diatas, saat ini banyak dipilih oleh petani padi sawah di Tabanan.  Disamping karena petani membutuhkan uang untuk bayar uang sekolah, urunan banjar, atau pembayaran rekening listrik, resiko petani pun tidak ada lagi. Apalagi sekarang mencari tenaga panen lokal sudah susah, disamping takut dengan resiko alam akibat adanya perubahan cuaca ekstrim.

Biasanya untuk tenaga panen, Pemajeg mendatangkan tenaga dalam jumlah besar dari luar Bali (Jawa atau Lombok). Upahnya pun lebih murah dari tenaga lokal.  Disamping waktunya lebih total, fasilitas yang harus disiapkan oleh Pemajeg tidak sesulit tenaga lokal dari Bali.  Jadi dari sini bisa diketahui, penggunaan tenaga panen padi dari luar Bali, bukan persoalan “existensi budaya lokal” saja. Tapi merupakan kondisi riil akibat bentukan mekanisme pasar.

“Lalu, bagaimana seorang Pemajeg bisa untung,” tanyaku serius. Pemajeg mencari keuntungan dari selisih harga jual dan beli gabah. Dalam sistem ini bisa dikatakan antara Petani dan Pemajeg membagi keuntungan yang diperoleh.  Oleh karenanya, petani lebih suka memilih panen dengan system pajegan, karena resiko saat panen dan pasca panen sudah di tanggung oleh Pemajeg. Pemajeg juga untung dari hasil penjualan “jasa panen” ke petani, yang nilanya sudah dihitung dalam total pembelian padi ke petani  (total nilai pajegan).

Singkat cerita, sangat menarik mencermati kehidupan antara Petani, Tengkulak dan Pemajeg. Tengkulak jika mengungkinkan pasti di hindari oleh petani. Namun Pemajeg saat ini sangat diharapkan oleh petani. Bahkan konon, Pemajeg yang tidak cermat sering mengalami kerugian dan bangkrut.

Dalam cerita yang lain, keberadaan Tengkulak tidak selamanya bermakna negative. Umumnya, dimana ada Tengkulak yang eksis, berarti di wilayah tersebut pasti terjadi perputaran ekonomi yang diakibatkan oleh bekerjanya factor-faktor produksi. Berati keberadan Tengkulak bisa dikatakan sebagai indikator ekonomi juga.

Disisi lain, tentu tidak adil jika melarang petani menjual hasil panen ke Tengkulak, jika tidak ada alternative lain. Dan kalaupun toh harus menjual hasil panen ke Tengkulak, semoga petani bisa bertransaksi dengan “Tengkulak Budiman”, yaitu : Tengkulak yang masih memiliki hati nurani dan mejaga kemartabatan dalam kehidupan dan budaya lokal.

Namun jika kita cermati lebih jauh, “prilaku-prilaku Tengkulak” yang meresahkan sudah mewabah dan merambah di semua sisi kehidupan.  Jika demikian adanya, maka petani kita akan tetap terjebak dalam penantian panjang.

“Semoga hadirnya “Tengkulak Budiman” bisa diwujudkan memberi harapan. Bukan sebaliknya hanya mimpi pelengkap keputusasaan.

 

 Made Nurbawa

Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara-Bali.