Foto : Ilustrasi Sampah Plastik. (Beritagar.id)

Indonesia tercatat sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China. Laut akan menerima dampak luar biasa jika tidak diambil langkah segera.

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Muhammadiyah serta Nahdlatul Ulama (NU) menandatangani kesepakatan baru, Selasa (5/6) lalu. Ketiganya sepakat bekerja sama mengurangi penggunaan kantong plastik.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, kesepakatan ini punya nilai sangat penting. Dia menyatakan, timbunan sampah plastik diperkirakan mencapai 24.500 ton per hari atau setara dengan 8,96 juta ton per tahun.

“Jadi, bayangkan, bagaimana sampah plastik itu kita buang, dan tidak akan terurai ke lingkungan, kemudian masuk ke sungai, ke laut, ikannya makan plastik, kepitingnya terlilit plastik,” papar Vivien dalam keterangan pers kementerian tersebut.

Data KLHK menyebutkan, kurang lebih 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah itu, hampir 95 persen menjadi sampah. Kondisi ini sangat berbahaya, karena sampah plastik butuh ratusan tahun untuk terurai ke lingkungan. KLHK mengkampanyekan langkah mudah bagi masyarakat, yaitu membawa tas belanja yang dipakai berulang kali.

Bagaimana plastik sampai ke laut? Tentu saja karena masyarakat membuang sampahnya ke sungai. Dan berbicara tentang ini, maka kita tidak akan bisa melupakan Sungai Citarum.

Presiden Jokowi belum lama memulai program Citarum Harum. Dalam tujuh tahun mendatang, Sungai Citarum harus bersih dari sampah dan limbah. Citarum penting karena 27 juta orang di Jakarta dan Jawa Barat menggantungkan sumber airnya dari sungai ini.

Citarum masuk dalam daftar sebagai sungai paling tercemar di dunia. Tim yang dipimpin oleh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan telah melakukan operasi pembersihan awal, melibatkan masyarakat dan militer.

Edy Rahayu, dari Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (Pawapeling) Jawa Barat menyatakan, Citarum sudah kotor sejak tahun 80-an. Tidak hanya oleh industri di kawasan Bandung, tetapi juga karena sampah yang tidak dikelola dengan baik. Edy menyebut, pusat pengolahan sampah di kawasan cekungan Bandung hanya mampu mengolah 1.800 ton sampah per hari. Padahal, kawasan ini memproduksi 4.500 ton sampah. Dari jumlah itu, tentu bisa diketahui bahwa angka yang tidak terolah berarti terbuang ke lingkungan, dan sebagian ke sungai yang kemudian menuju laut.

Edy menyambut baik upaya membersihkan sampah di Citarum yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Namun, tambahnya, itu saja tidak cukup.

“Harus ada upaya pemilahan di tingkat sumber sampah, kalau dari sisi penanganan sampah ini. Jadi, selain membersihkan sampah dari sungai seperti yang sedang dilakukan, juga harus ada edukasi bagi masyarakat, bagaimana caranya memilah sampah yang mereka hasilkan di tingkat sumber. Dari sampah organik, tidak organik dan juga residunya harus dipisah. Cuma, ini butuh proses yang sangat panjang,” kata Edy Rahayu.

Seperti sungai-sungai besar lain di Indonesia, Citarum besar karena menjadi pusat berkumpulnya aliran sejumlah sungai kecil. Namun, pada saat bersamaan, sungai-sungai kecil itu juga mengumpulkan sampah, terutama plastik, dari kawasan pemukiman.

Di sisi lain, Citarum menjadi sumber air bersih mulai dari Sumedang hingga Bekasi dan Jakarta. Citarum juga dimanfaatkan airnya untuk pembangkit listrik, begitu pula bagi sektor pertanian.

Di banyak daerah, pemerintah setempat sejak bertahun lalu memiliki Program Kali Bersih. Program ini menjadikan penyadaran masyarakat pada resiko membuang sampah di sungai sebagai salah satu kegiatan utama. Pemerintah daerah, seperti di Yogyakarta misalnya, juga membuat Peraturan Daerah (Perda) khusus terkait ini.

Di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, warga yang tertangkap membuang sampah di sungai dapat didenda hingga maksimal Rp 50 juta dan hukuman kurungan tiga bulan. Namun, hingga saat ini, efektivitas program maupun aturan semacam itu masih dipertanyakan.

Dosen Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang, Dr. Defri Yona kepada VOA menceritakan bahaya sampah plastik yang masuk ke laut. Seiring waktu, lembaran plastik besar akan terurai dalam ukuran hingga kurang dari lima milimeter. Bentuk sampah ini disebut sebagai mikro plastik, dan memiliki tingkat bahaya yang berlipat ganda.

“Ini harus dimulai dari pengurangan penggunaan plastik. Karena kalau dari situ tidak dihentikan, kita tidak bisa melakukan apa-apa. Kalau sampah ini sudah menjadi mikro plastik di perairan, sudah tidak ada lagi cara yang bisa kita lakukan, misalnya dengan disaring atau sejenisnya, karena ukurannya sudah sangat kecil. Beberapa penelitian mengungkapkan, dalam satu liter air laut kita bisa menemukan sampai ratusan partikel mikro plastik ini,” jelas Defri Yona.

Mikro plastik tidak hanya membunuh biota laut. Dalam jangka panjang, manusia juga akan terdampak karena mengkonsumsi ikan dan produk laut lainnya. Ikan yang sudah menelan mikro plastik, menyerap racunnya, dan kemudian berpindah ke manusia yang memakannya.

“Kita harus sadar, bahwa apa yang kita lakukan di darat itu dampaknya sampai ke tengah lautan luas, lalu, akan kembali ke manusia yang mengonsumsi ikan. Kita memang tidak memakan mikro plastik itu secara langsung. Tetapi senyawa kimia yang ada di dalamnya, masuk melalui biota laut ke dalam tubuh kita,” kata Defri.

Hingga saat ini, lanjut Defri, belum ditemukan metode paling tepat untuk membersihkan sampah plastik dari laut. Satu-satunya cara, adalah mengurangi penggunaan plastik, dan satu hal yang pasti, tidak membuang sampah ke sungai. Jika tidak, maka laut akan menjadi tempat sampah raksasa bagi penduduk bumi.

Sumber : www.voaindonesia.com