perda
Denpasar(Metrobali.com)-
Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak provinsi Bali yang baru disahkan dalam rapat paripurna DPRD Bali, Selasa (22/7), mengundang kekecewaan publik.Pengesahan Perda itu dinilai terlalu dipaksakan, sebab substansinya belum memenuhi semangat perlindungan terhadap anak.
Karena itu, Aktivis perempuan dan pemerhati perlindungan anak di Bali, Ida Ayu Made Gayatri, S.Sn., M.Si.,yang selama ini dilibatkan pansus DPRD Bali dalam pembahasan ranperda itu, Rabu (23/7), melayangkan surat kepada pansus Komisi komisi IV DPRD Bali yang selama ini membahas Perda tersebut.
Tembusan surat itu disampaikan kepada Gubernur Bali. Menariknya, selain ditujukan langsung kepada ketua komisi IV DPRD Bali, surat itu juga dibeberkan di jejaring sosial sebagai surat terbuka.

“Surat itu berisi koreksi terhadap Perda Perlindungan Anak baru saja disahkan DPRD Bali. Kami sangat menyesalkan pengesahan perda itu, sebab masih banyak hal yang harus disempurnakan. Masukan kami selama ini tidak pernah ditanggapi. Perda itu sangat dipaksakan saat masyarakat sedang fokus di pilpres,” kecam Gayatri, di Denpasar, Rabu (23/7).

Dalam suratnya, Mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, ini mengungkapkan beberapa pertimbangan keberatannya, antara lain naskah akademik yang menjadi dasar bagi penyusunan ranperda perlindungan anak belum direvisi, argumentasi naskah akademik yang disodorkan sangat lemah, padahal fakta-fakta yang berkaitan dengan nasib anak-anak Bali yang kurang beruntung, menjadi korban dan pelaku kekerasan “luar biasa banyak” dan genting.

Staff ahli kurang berhasil menerjemahkan semangat, niat dan kemauan politik  Pansus Komisi IV DPRD Provinsi Bali dan masyarakat serta LSM yang hadir memberikan pandangan bagi terwujudnya Perda perlindungan yang layak; Ranperda itu hanya copy paste  undang-undang perlindungan anak sehingga kurang aplikatif dan tidak mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat Bali.

Sebelumnya, staff ahli pansus juga sempat memasukkan dalam ranperda mengenai rencana pembentukan kembali Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) Bali yang bertendensi melanggar konstitusi.

Ini menunjukkan staf ahli yang ditunjuk kurang memiliki kompetensi di bidang penyusunan ranperda perlindungan anak ini. Pembentukan Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KP2AD) di Bali, hanya nama pengganti Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) yang melanggar konstitusi.

Penyusunan Ranperda ini jelas berbasis “elitis” membentuk elit-elit yang akan didanai oleh APBD, dan bahkan “komisi”, mirip ormas yang dapat menerima bantuan hibah dan lain-lain seperti CSR, ungkap Gayatri. SIA-MB