kekerasan perempuanDenpasar  (Metrobali.com)-

Aktivis perempuan dan anak, Luh Anggreni mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Anak yang telah dibentuk di Denpasar, Bali, lebih optimal dalam melakukan sosialisasi mencegah kekerasan baik fisik maupun seksual.

“Kami siap memberikan pendampingan. Kami berharap Satgas Anak melakukan pencegahan dan sosialisasi intensif agar pencegahan kekerasan bisa dilakukan terpadu berbasis masyarakat,” kata Anggreni di Denpasar, Kamis (26/5).

Menurut dia, satgas tersebut telah dibentuk di 43 desa yang ada di ibu kota Provinsi Bali tersebut.

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Denpasar itu mengharapkan agar sosialisasi bisa gencar dilakukan mengingat kasus kekerasan seksual kini masuk dalam keadaan darurat.

Aktivis yang juga bergerak di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Denpasar itu mencatat kasus kekerasan di Denpasar yang menimpa perempuan dan anak mengalami peningkatan.

Dia menjelaskan bahwa selama tahun 2014 tercatat 44 kasus kekerasan dan jumlah itu melonjak pada tahun 2015 menjadi 105 kasus.

Kasus kekerasan yang dilaporkan itu meliputi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT, kekerasan seksual dan kasus anak yang tersangkut masalah hukum.

“Sebagian besar kasus KDRT kemudian disusul kasus kekerasan seksual. Pelakunya ada orang dewasa, ada juga anak-anak.

Bedanya hubungan pelaku dan korban adalah pacaran sehingga ini memerlukan sosialisasi kepada remaja,” katanya.

Kasus terkini, dua orang bocah masing-masing berusia 10 dan lima tahun dicabuli oleh seorang pria dewasa berusia 55 tahun yang merupakan tetangga korban di kawasan pemukiman padat, Monang-Maning Denpasar pada awal Mei 2016.

Pelaku saat ini masih ditahan di Polda Bali dan hingga sekarang kasus tersebut ditangani oleh penyidik.

Merebaknya kasus kejahatan seksual kepada perempuan dan anak membuat Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Langkah pemerintah tersebut disambut Anggreni karena merupakan langkah cepat mengingat Undang-Undang Kekerasan Seksual hingga saat ini masih di Prolegnas DPR.

Meski mendukung, namun beberapa poin dalam Perppu tersebut memantik pro dan kontra di kalangan para aktivis terutama terkait pemberian hukuman kebiri karena bukan jaminan bisa menimbulkan “shock therapy” terhadap para pelaku.

“Di sinilah peran hakim, dia harus berani memutuskan pemberian hukuman tambahan kebiri misalnya, karena kasus kekerasan perempuan dan anak itu sudah sangat luar biasa dan ada desakan dari masyarakat,” katanya.Sumber : Antara