Pilkada Langsung

Yogyakarta (Metrobali.com)-
Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada jangan sampai diskriminatif terhadap calon perseorangan untuk maju dalam Pilkada 2017, kata Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia, Anang Zubaidy.

“Kalau sampai mempersulit berarti UU Pilkada diskriminatif,” kata Anang dalam diskusi “Calon Independen: Antara Penguatan Demokrasi dan Deparpolisasi” di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rabu.

Menurut Anang, selama ini persyaratan dukungan calon perseorangan maju dalam Pilkada sudah cukup berat yakni 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) sesuai yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015.

Dengan persyaratan tersebut, menurut dia, calon kepala daerah yang maju secara independen sulit menang. Mengacu catatan Skala Survei Indonesia (SSI) dalam Pilkada 2015 calon independen yang menang hanya 14,4 persen, sementara yang kalah 85,6 persen. “Sebagian kandas karena persyaratan dukungan,” kata dia.

Oleh sebab itu, menurut dia, Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tersebut seharusnya lebih memperingan syarat calon dukungan tersebut guna memberikan alternatif bagi masyarakat menentukan pilihan politiknya, sekaligus meningkatkan partisipasi politik masyarakat.

“Calon independen jangan dianggap sebagai bencana politik, sebab dengan adanya calon independen justru dapat mendorong parpol untuk berbenah,” kata dia.

Rencana pengetatan persyaratan calon independen, dengan menaikkan syarat dukungan bisa memunculkan opini sebagai ketakutan parpol, yang justru dapat memunculkan “deparpolisasi”. “Rencana menaikkan syarat calon perseorangan naik menjadi 15-20 persen jumlah pemilih dengan menyamakan syarat dukungan calon dari parpol jelas tidak fair, sebab calon dari parpol cukup memdapatkan restu dari elite partai untuk mendapatkan dukungan,” kata dia.

Peneliti lainnya dari Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII), Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan masyarakat dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) apabila hasil revisi UU Pilkada diskriminatif terhadap pencalonan perseorangan.

“Jika UU Pilkada diskriminatif masyarakat atau pihak yang mencalonkan diri bisa melakukan gugatan hukum,” kata dia. Sumber : Antara