Ahok ungkap soal izin reklamasi di KPK

Gubernur DKI Jakarta Penuhi Panggilan KPK. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memenuhi panggilan pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/5). KPK memeriksa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebagai saksi kasus dugaan suap dalam pembahasan Raperda Reklamasi Teluk Jakarta dengan tersangka mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/kye/16) ()
Jakarta (Metrobali.com)-
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengungkap sejumlah izin terkait reklamasi pantai utara (pantura) Jakarta saat diperiksa di KPK.

“Pokoknya saya diminta untuk melengkapi berkas untuk Pak Ariesman, Pak Sanusi dan satu lagi Pak Trinanda, status tiga tersangka ini mungkin mau dinaikkan, jadi saya melengkapi berkas-berkas untuk mereka itu,” kata Basuki yang biasa dipanggil Ahok usai diperiksa di gedung KPK Jakarta selama sekitar 7,5 jam, Selasa (9/5).

Izin awal untuk menggarap pantura Jakarta tersebut berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dikeluarkan pada 19 September 2012 saat Gubernur Jakarta masih dijabat oleh Fauzi Bowo (Foke). Pergub tersebut mengatur rinci mengenai 17 pulau A-Q.

“Sejak zaman Foke, Foke,” jawab Ahok singkat saat ditanya mengenai izin.

Ahok juga mengaku hanya mengeluarkan tiga izin terkait reklamasi tersebut.

“Saya hanya tiga, tiga,” ungkap Ahok.

Padahal berdasarkan catatan, Ahok mengeluarkan empat izin pelaksana berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta.

Pertama adalah Surat Keputusan Gubernur No 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra yang terbit pada 23 Desember 2014; Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo yang terbit pada 22 Oktober 2015; Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Ekapaksi pada 22 Oktober 2015 dan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk, pada 17 November 2015.

Ahok juga tidak mempersoalkan adanya bangunan di atas reklamasi tersebut.

“Itu tidak masalah karena sudah proses denda, ada hitungannya tapi saya tidak tahu,” tambah Ahok.

Fauzi Bowo semasa menjadi gubernur DKI Jakarta juga mengeluarkan izin prinsip dan izin pelaksana.

Izin prinsip dikeluarkan Foke kepada PT Kapuk Naga Indah untuk pulau A, B; kepada PT Kawasan Ekonomi Khusus Marunda di pulau O; kepada PT Manggala Krida Yudha di pulau M; PT Pembangunan Jaya Ancol di pulau I, J dan L.

Sedangkan Foke mengeluarkan izin pelaksana untuk PT Kapuk Naga Indah di pulau 1, 2A dan 2B.

KPK dalam perkara ini juga sudah mencegah keluar negeri lima orang yaitu sekretaris direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Berlian, karyawan PT APL Gerry Prasetya, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya, Direktur Agung Sedayu Group Richard Halim Kusuma dan petinggi Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan Sugianto.

Aguan adalah pimpinan PT Agung Sedayu yang merupakan induk dari PT Kapuk Naga Indah, salah satu dari dua pengembang yang sudah mendapat izin pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta. Perusahaan lain adalah PT Muara Wisesa Samudera yaitu anak perusahaan Agung Podomoro.

PT Kapuk Naga Indah mendapat jatah reklamasi lima pulau (pulau A, B. C, D, E) dengan luas 1.329 hektar sementara PT Muara Wisesa Samudera mendapat jatah rekalamasi pulau G dengan luas 161 hektar.

KPK menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Arieswan Widjaja dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro sebagai tersangka pemberi suap sebesar Rp2 miliar kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi.

KPK menyangkakan Sanusi berdasarkan sangkaan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai penyelenggara negara yang patut diduga menerima hadiah dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan kepada Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.