Ahli psikologi ungkap dampak buruk program kurikuler bagi anak

Dokumentasi seorang siswa SD saat hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru 2016/2017 di SDN Polisi 1, jalan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (18/7/2016). Dia didokumentasikan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (saat itu), Anies Baswedan. (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah)
Jakarta (Metrobali.com)-
Ahli psikologi anak, Vera Hadiwidjojo, menyarankan pemerintah tak perlu menjalankan program kurikuler sebagai istilah terbaru pengganti full day school, salah satunya karena mengurangi keleluasaan anak melakukan hal yang ia suka.

Salah satu bentuk keleluasaan memilih yang berkurang ialah bermain. Menurut dia, sekalipun anak bisa bermain di sela waktu sekolah, namun sekolah tetaplah tempat terstruktur yang membatasi keleluasaan anak, berbeda dengan di rumah.

“Dalam bermain ada unsur kebebasan memilih, keleluasaan anak untuk melakukan apa yang ia suka. Apakah ini akan terpenuhi ketika anak sekolah full day? Sekolah tetaplah tempat terstruktur yang memiliki aturan atau batasan yang membuat anak tidak seleluasa di rumah dalam bermain,” ujar dia dalam surat elektroniknya, di Jakarta, belum lama ini.

Selain itu, ilmu pengetahuan soal kehidupan dan hal lainnya tak melulu didapatkan dari sekolah. Ilmu dari sekolah bukan satu-satunya penentu anak kelak menjadi kompeten, mandiri, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

“Belajar tidak hanya akademis. Anak belajar tidak hanya di sekolah tapi juga di lingkungan lainnya. Anak beljaar kehidupan tidak hanya di sekolah. Sekolah merupakan salah satu bagian dalam kehidupan anak, jadi perlu ada tempat juga untuk lingkungan lainnya seperti lingkungan sekitar rumah,” kata dia.

Belum lagi bila anak memiliki masalah di sekolah, misalnya sulit bergaul dengan teman-temannya. Vera mengatakan, pada kasus seperti itu orangtua dan pihak sekolah perlu terlebih dulu mengembangkan keterampilan sosialisasinya.

Selain itu, ketimbang memberdayakan peran orangtua, program kurikuler justru mengambil peran orangtua dalam kehidupan anak.

“Program ini tidak membantu orangtua secara disadari maupun tak disadari, karena ini mengambil alih peran orangtua bukan memberdayakan peran mereka dalam kehidupan anak,” tutur dia.

Wacana perpanjangan jam belajar anak di sekolah yang kemudian diubah istilahnya menjadi program kurikuler, belum lama ini mencuat dari pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy.

Dia menegaskan wacana ini tak berarti siswa harus belajar sehari penuh. Siswa menjalani pembelajaran formal sampai setengah hari dan selanjutnya dapat diisi kegiatan ekstrakulikuler. ANT