GUNTUR SUBAGIA

JAKARTA (Metrobali.com)-

Kehadiran bank syariah di Indonesia sudah hampir seperempat abad. Dengan usia yang setara dengan satu generasi itu, seharusnya peran perbankan syariah dalam perekonomian nasional semakin strategis dan posisi-posisi strategis di perbankan syariah diisi oleh bankir syariah, tapi nyatanya tidak.

‘’Sekitar 77 persen direksi di perbankan syariah berasal dari bank konvensional,’’ kata Chairman Indostrategic Economic Intelligence Guntur Subagja di Jakarta (25/2/2016). Itu berarti bankir syariah hanya menduduki seperempat jabatan direksi di perbankan syariah.

Indostrategic seperti dikatakan Guntur melakukan pemetaan direksi di perbankan syariah. Pemetaan itu mencoba melihat kiprah para direksi dalam lima tahun terakhir sebelum mereka menjadi direktur di perbankan syariah.

Tercatat saat ini terdapat 12 bank syariah yang beroperasi dengan jumlah total direksi 48 orang. Dari jumlah itu direksi yang berasal dari bank konvensional 37 (77 persen) dan hanya 11 direksi yang dalam lima tahun terakhir berkiprah di perbankan syariah. ‘’Mengejutkan dan sekaligus memprihatinkan,’’ kata Guntur mengomentari data tersebut.

Dua bank syariah terbesar di Indonesia yang menjadi ikon perbankan syariah nasional, Bank Mandiri Syariah (BSM) dan Bank Muamalat, seluruh direksinya berasal dari bank konvensional. BSM mengambil direksi dari bank induknya, Bank Mandiri. Bank Muamalat lebih ironis, bank yang didirikan dengan semangat keIslaman oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) itu, seluruh direksinya berasal dari bank konvensional milik asing.

Menurut Guntur ada tiga kemungkinan kenapa itu terjadi. Pertama, ketidakpercayaan dari pemegang saham terhadap kemampuan para bankir syariah. Kedua, kegagalan kaderisasi di perbankan syariah sehingga kemampuan manajerial tidak dimiliki oleh kader-kader bank syariah. Ketiga, perbankan syariah hanya dilihat sebagai sebuah sistem keuangan, mengesampingkan nilai-nilai (values) yang menjadi dasar kelahiran bank syariah tersebut.

Alasan pertama dan kedua masih bisa diperdebatkan, karena kenyataannya bankir konvensional juga tidak selalu sukses dalam mengelola bank syariah. Di sisi lain, banyak kader-kader bankir syariah yang  sebetulnya memiliki kemampuan tapi tidak mendapat kesempatan untuk memimpin bank syariah, karena misalnya tidak direkomendasikan pemegang saham. ‘’Tapi yang paling bahaya adalah alasan ketiga,’’ kata Guntur, yang juga menulis buku “Dua Dekade Ekonomi Syariah”.

Dikatakan, ketika bank syariah hanya dipandang sebagai sistem maka bank tersebut dijalankan tanpa nilai-nilai islami yang selama ini dijadikan kelebihan perbankan syariah. Padahal values tersebut, yang dijadikan otoritas perbankan memposisikan bank syariah lebih dari sekedar bank (beyond banking). Jadi seolah wajar jika bank konvensional yang memiliki bank syariah, menjadikan bank syariah sebagai batu loncatan jenjang karir sehingga sering terjadi keluar-masuk. Lebih memprihatinkan lagi jika bank syariah sebagai jalan keluar mengatasi karyawan yang karirnya mentok di konvensional.

Kondisi tersebut selain di BSM juga terjadi di Bukopin Syariah, BNI Syariah, Mega Syariah, BRI Syariah, BCA Syariah, dan BJB Syariah. Beberapa bank induk yang tidak menempatkan orang konvensional di bank syariah, biasanya mengambil bankir syariah dari bank lain seperti Panin Syariah yang menarik bankir dari Mega Syariah, ataupun Victoria Syariah yang mengambil bankir BSM.

Tidak beda dengan bank syariah yang berdiri sendiri tanpa induk yang dalam hal ini adalah Bank Muamalat. Pemegang saham meskipun mayoritas dari Timur Tengah, mungkin menganggap bahwa bank syariah hanya sebagai sistem, sehingga ambil saja personel dari konvensional untuk menjalankan bank syariah. ‘’Baru kali ini seluruh direksi Bank Muamalat diambil dari bankir konvensional, termasuk direktur utama yang selama dua puluh tahun terakhir selalu dari dalam,’’ kata Guntur.

Diperlukan kajian yang lebih untuk lebih mengurai kondisi yang memprihatinkan tersebut. Perjalanan bank syariah selama seperempat abad saat ini masih tertatih-tatih karena minimnya keberpihakan dari pemerintah.  Pertumbuhan aset perbankan syariah yang sebelumnya melesat dalam beberapa tahun terkahir ini berjalan pelan. Aset perbankan syariah per Desember 2015 adalah sebesar Rp 296 triliun. Total aset perbankan nasional Rp. 6.132 triliun. Market share perbankan syariah masih di bawah 5 persen.

Saat ini pemerintah dan otoritas keuangan membentuk Komisi Nasional Ekonomi Syariah diharapkan dapat mempercepat akselerasi perkembangan perbankan syariah. RED-MB