Ikatan Mahasiswa Papua di Sumatera Utara menggelar protes atas aksi diskriminasi dan rasisme terhadap mahasiswa di Surabaya, Senin, 19 Agustus 2019. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)

Gelombang protes berdatangan dari mahasiswa Papua di Medan lantaran tindakan diskriminasi dan rasisme yang menimpa rakyat asal Bumi Cenderawasih di Surabaya dan Malang. Mahasiswa Papua di Medan ini melakukan aksi damai sebagai bentuk solidaritas dan melontarkan kritikan pedas terhadap pemerintah.

Diskriminasi disertai aksi rasisme terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang berbuntut panjang. Aksi tersebut memicu kemarahan warga Papua termasuk mahasiswa asal Bumi Cenderawasih yang sedang menimba ilmu di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Pembina Ikatan Mahasiswa Papua (IMP) Sumut, Damiel Wandik serta mahasiswa Papua di Medan tidak terima atas tindakan diskriminasi terhadap saudara-saudaranya di Surabaya dan Malang.

“Teman-teman kami di Surabaya, dan Malang, yang mendapatkan rasisme dan diskriminasi. Kami tidak terima dengan yang terjadi di beberapa kota studi, diskriminasi, penindasan, serta pengepungan. Kami tidak diberikan ruang demokrasi. Masalah bukan baru kali ini, kita bisa ketahu Indonesia sudah merdeka 74 tahun. Ini masalah yang sering terjadi, penindasan, membungkam ruang demokrasi terhadap orang-orang Papua,” katanya kepada VOA di Medan, Senin (19/8).

Damiel mempertanyakan kenapa rakyat Papua terutama mahasiswa yang merantau menuntut ilmu kerap mendapat diskriminasi. Ia juga menyayangkan sikap dari TNI, Polri, dan ormas di Surabaya yang melakukan tindakan persekusi, disertai rasisme terhadap mahasiswa Papua. Ucapan yang tak pantas tersebut telah memicu kemarahan warga Papua lainnya.

“Kita bisa lihat sendiri ini masalah bukan satu-satunya. Kejadian ini akan terus terjadi. Orang luar Papua tidak akan bisa menerima kami, karena rasisme dan intimidasi terus terjadi. Menutup ruang demokrasi bagi kami juga. Kami tidak melakukan aksi kriminalitas. Kami menyampaikan aspirasi damai tapi kenapa selalu berhadapan dengan senjata. Selalu berlawanan dengan kalimat rasis. Ya untuk kali ini kami disebut monyet. Kami jawab monyet akan menjadi simbol kami untuk melawan itu,” ungkapnya.

Tindakan rasisme kini menghantui para rakyat dan mahasiwa Papua. Alhasil, Damiel menyebut rakyat Papua siap kembali ke Bumi Cenderawasih jika diskriminasi terhadap mereka masih terus terjadi. Keadilan seakan tidak berpihak pada rakyat Papua yang merantau. Padahal, mereka tidak pernah mengintimidasi atau melakukan diskriminasi terhadap orang-orang non Papua yang merantau dan mencari nafkah di Bumi Cenderawasih.

“Kami menyampaikan aspirasi, melawan bahwa itu tidak benar, dan juga rasisme yang terjadi kami menolak. Jika diusir kami akan siap dengan senang hati kami pulang. Papua itu rumah kami. Tapi dengan catatan sejak kemerdekaan Indonesia banyak orang dari luar Papua yang masuk ke sana kami terima baik. Mereka dapat makan, minum hingga uang dari Papua dan sekarang mereka tidak berpikir panjang ke sana. Jumlah kami hanya sedikit yang di luar Papua untuk belajar,” ujar Damiel.

“Jika mereka mengatakan seperti itu (rasisme) kami akan pulang dengan senang hati. Dengan catatan orang dari luar Papua yang datang juga harus angkat kaki. Jadi sama-sama pulang ke daerah masing-masing. Itu yang menjadi sorotan kami,” tambahnya.

Kritik dan komentar pedas juga disampaikan Damiel terhadap pemerintah Indonesia. Kata Damiel, pemerintah Indonesia melakukan program pembangunan di Bumi Cenderawasih hanya untuk meredam gerakan rakyat Papua yang ingin mendapatkan kebebasan dengan kata lain merdeka.

“Ini diskriminasi terjadi saat kemerdekaan ke-74 Indonesia, dan masalah tentang Papua tidak pernah selesai. Artinya ada solusi, tapi Indonesia selalu meredam perjuangan kami dengan segala cara seperti pembangunan, dan segala program dilakukan. Pergantian kepala negara tapi masalah Papua tetap ada, dan tidak pernah redam. Solusinya untuk Papua adalah merdeka, dan kebebasan itu saja,” ungkap Damiel.

Hal senada juga disampaikan Agustinus Goo yang merupakan ketua dari IMP Sumut. Mahasiswa asal Kabupaten Nabire ini mengatakan pemerintah harus cepat menyelesaikan masalah tentang penindasan, diskriminasi, serta rasisme terhadap rakyat Papua. Kata Agustinus, jika pemerintah Indonesia tidak mampu menyelesaikannya, maka lepaskan saja wilayah Papua dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ya kalau terus ini berlanjut, berarti masyarakat Papua minta merdeka, lepas dari pangkuan NKRI. Presiden Joko Widodo harus cepat selesaikan masalah itu daripada masyarakat Papua jadi korban. Tanah kami dijajah, dirampas kekayaan alam di Papua. Sementara mereka melakukan rasisme, intimidasi. Seharusnya sebagai manusia mereka harus punya perasaaan,” tutur Agustinus.

Sebagai bentuk solidaritas terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Puluhan mahasiswa yang tergabung di IMP Sumut melakukan aksi damai disertai long march dari asrama mereka di sekitaran Universitas Sumatera Utara (USU) ke DPRD Sumut. Dalam aksi ini mereka menyampaikan beberapa tuntutan dan aspirasi ke DPRD Sumut agar disampaikan ke pemerintah pusat.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPRD Sumut, Brilian Moktar mengatakan kepada para mahasiswa Papua di Medan akan menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka ke pemerintah pusat dalam waktu dekat.

“Memang saat ini pemerintah harus segera mengatasinya. Aparat kepolisian dan TNI proses ini secara benar dan diprioritaskan secara kekeluargaan, karena menyangkut anak bangsa dan mahasiswa. Kekeluargaan ini sangat penting. Saya akan kirim ke ini ke Menteri Sekretaris Negar, Kepala Staf Kepresidenan, Mabes Polri dan Mabes TNI,” tuturnya.

Sementara itu di sisi lain, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto menyesalkan pernyataan negatif yang dilontarkan berbagai pihak saat menyikapi dugaan perusakan bendera merah putih di Surabaya. Menurutnya, hal tersebut telah memicu berbagai aksi di Papua dan Papua Barat pada hari ini. Wiranto mengatakan akan mengusut tuntas semua orang yang melanggar hukum dalam peristiwa ini. Wiranto mengimbau masyarakat agar tidak terpancing dan terpengaruh oleh informasi yang negatif dari pihak-pihak yang ingin merusak persatuan serta kedamaian di Indonesia.

Wiranto juga mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang telah meminta maaf secara terbuka terkait peristiwa di Surabaya. Apresiasi juga diberikan Wiranto atas langkah pemerintah provinsi Papua Barat yang telah menenangkan masyarakatnya.

Seperti diketahui banyaknya protes dari rakyat Papua buntut dari ditangkapnya 43 mahasiswa asal Bumi Cenderawasih di Surabaya pada Sabtu (17/8). Penangkapan tersebut disertai dengan tembakan gas air mata ke asrama mahasiswa Papua. Para mahasiswa Papua itu kemudian ditangkap untuk dimintai keterangan tentang dugaan perusakan bendera merah putih. Lalu, polisi melepaskan para mahasiswa Papua itu karena mereka tidak terbukti bersalah. [aa/ab] (VOA)